ads

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

 

POLEMIK antara DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo terkait penggeseran anggaran dalam Perda APBD Perubahan 2025 mencerminkan dinamika klasik antara eksekutif dan legislatif. Konflik ini bukan sekadar soal angka, melainkan cerminan bagaimana komunikasi yang buruk dan ambisi institusi dapat menghambat pembangunan daerah. Di satu sisi, DPRD memperjuangkan pokok pikiran (Pokir) sebagai representasi aspirasi masyarakat. Di sisi lain, Pemkot, dengan mandat UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, berupaya mengelola anggaran secara efisien untuk menangani isu krusial seperti pengendalian banjir, perbaikan jembatan, dan krisis air bersih yang mendesak.

Namun, komunikasi yang tidak selaras memicu konflik. DPRD menilai Pemkot menggeser anggaran secara sepihak, sementara Pemkot berdalih bahwa penggeseran sisa anggaran digunakan untuk melunasi utang belanja Rp30 miliar dari APBD pokok 2025, di mana Rp28 miliar telah terbayar sesuai rekomendasi BPK, dan sisanya dialihkan untuk program strategis. Dengan anggaran Dinas PUPR yang hanya Rp4 miliar, Pemkot menghadapi dilema: memenuhi Pokir DPRD atau memprioritaskan kebutuhan mendesak seperti infrastruktur banjir dan air bersih. Keterlambatan pengiriman dokumen APBD Perubahan ke Gubernur Sulawesi Selatan, ditambah dugaan penahanan dokumen oleh pimpinan DPRD, semakin memperkeruh situasi. Pertanyaan pun mengemuka: apakah DPRD benar-benar menjalankan fungsi pengawasan secara konstruktif, atau terjebak dalam formalisme dan tekanan politik demi mempertahankan Pokir?

Sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui surat tertanggal 29 Agustus 2025 menjadi peringatan keras. Potensi penyalahgunaan anggaran, termasuk Pokir yang rentan menjadi alat kepentingan politik, menegaskan pentingnya transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Pemkot perlu melibatkan DPRD, terutama Badan Anggaran, untuk menjelaskan rasionalitas penggeseran anggaran secara terbuka. Sebaliknya, DPRD harus mengedepankan pengawasan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bukan sekadar mempertahankan Pokir tanpa mempertimbangkan skala prioritas daerah. Tanpa komunikasi yang jujur, konflik ini berisiko merusak kepercayaan publik terhadap kedua lembaga.

Warisan utang belanja Rp250 miliar dan proyek mangkrak seperti Stadion Lagaligo serta Gedung Kesenian menjadi beban berat bagi Pemerintahan Palopo Baru. Tantangan ini seharusnya mendorong sinergi, bukan memperdalam jurang konflik. Masyarakat Palopo tidak membutuhkan adu kuasa, melainkan solusi nyata: lingkungan bebas banjir, air bersih yang terjamin, infrastruktur memadai, dan layanan publik yang lebih baik. 

Dialog terbuka adalah kunci meredakan ketegangan. Pemkot harus proaktif menjelaskan keputusan anggaran dengan data transparan, sementara DPRD perlu mengedepankan pengawasan konstruktif, bukan menghambat proses demi kepentingan politik sempit. Kolaborasi, bukan konfrontasi, adalah jalan menuju pembangunan berkelanjutan. Masyarakat Palopo menanti bukti nyata bahwa kedua lembaga mengutamakan kepentingan rakyat di atas ego institusi. (MUBARAK DJABAL TIRA)

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top