![]() |
Penulis Mubarak Djabal Tira. |
Kota Palopo, dengan warung Bugis yang buka 24 jam dan kedai kopi yang ramai pengunjung, kini menghadapi ancaman serius: maraknya peredaran rokok ilegal. Merek seperti Smith, Rocker, Pajero, dan Scorpio, yang dijual hanya Rp20 ribu per bungkus, menjadi pilihan banyak warga di tengah himpitan ekonomi. Namun, di balik harga murah itu, ada kerugian besar: kesehatan masyarakat terancam, pendapatan cukai negara merosot miliaran rupiah, dan kejahatan terorganisasi semakin leluasa. Saatnya Bea Cukai dan Polri membuka mata, memperkuat langkah, dan menindak tegas.
Realitas di Lapangan: Rokok Ilegal Jadi Primadona
Harga rokok legal berpita cukai di Palopo, yang berkisar antara Rp30-40 ribu per bungkus, terasa berat bagi sebagian besar warga. Akibatnya, rokok ilegal tanpa pita cukai laris manis di warung-warung kecil. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sekitar 80 persen pedagang eceran mengaku terpaksa menjual rokok ilegal karena tingginya permintaan. “Kalau tidak jual yang murah, pembeli kabur,” ujar seorang pedagang di Jalan Andi Djemma, yang memilih anonim karena khawatir dirazia. Rokok ini, dengan kemasan menyerupai produk resmi namun disembunyikan di bawah meja, jelas lolos dari pengawasan.
Hukum yang Masih Tumpul
Peredaran rokok ilegal bukan perkara sepele. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengancam pelaku dengan pidana penjara 1-5 tahun dan denda 2-10 kali nilai cukai yang dilanggar. Untuk sindikat terorganisasi, hukuman bisa lebih berat berdasarkan Pasal 55 KUHP. Namun, penegakan hukum di Palopo masih lemah. Razia sering hanya menyita barang tanpa menelusuri jaringan di baliknya. Padahal, rokok ilegal ini diduga berasal dari luar Sulawesi, masuk melalui jalur darat dan laut yang minim pengawasan. Koordinasi antara Bea Cukai dan Polisi kerap terhambat birokrasi, membuat bandar besar tetap aman.
Solusi Konkret untuk Palopo
Bea Cukai dan Polisi harus bergerak lebih agresif. Razia sporadis tidak cukup; diperlukan strategi terpadu. Bea Cukai bisa memanfaatkan teknologi seperti drone untuk memantau perbatasan atau analisis AI untuk mendeteksi kemasan palsu. Hotline pelaporan anonim perlu disosialisasikan secara masif, dengan insentif bagi pelapor untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Polres Palopo, melalui Unit Tipiter, harus fokus mengejar sindikat besar, bukan hanya menangkap pedagang kecil yang terjebak kondisi ekonomi.
Pemerintah Kota Palopo juga punya peran besar. Wali Kota harus mengeluarkan regulasi tegas, seperti larangan penjualan rokok ilegal di pasar tradisional dengan ancaman pencabutan izin usaha. Tanpa pendapatan cukai, pembangunan kota, dari perbaikan infrastruktur hingga penyediaan layanan kesehatan, akan terhambat. Lebih mengkhawatirkan, rokok ilegal mengandung kadar tar dan nikotin yang tidak terkontrol, yang menurut studi Kementerian Kesehatan 2024, membahayakan kesehatan generasi muda.
Tantangan Lebih Besar: Kesehatan dan Kejahatan Terorganisasi
Rokok ilegal bukan hanya soal kehilangan cukai, tetapi juga ancaman kesehatan dan kejahatan terorganisasi. Harga murah memang menggoda bagi warga yang tertekan inflasi, tetapi dampak jangka panjangnya jauh lebih mahal: penyakit akibat rokok tak terkontrol dan kian kuatnya jaringan kriminal. Palopo tidak boleh menjadi surga bagi sindikat rokok ilegal.
Saatnya Bertindak
Bea Cukai, Polisi, dan Pemkot Palopo harus bersinergi membentuk satgas khusus untuk memutus rantai peredaran rokok ilegal. Tindakan tegas terhadap bandar besar, penguatan pengawasan, dan edukasi masyarakat adalah langkah nyata yang tidak bisa ditunda. Rp20 ribu per bungkus mungkin terasa ringan di dompet, tapi harga sebenarnya adalah masa depan kota yang tercuri. Palopo layak bebas dari asap rokok ilegal, jangan ada pemakluman. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tidak ada komentar: