ads

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

 

Di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, era kepemimpinan Judas Amir (2018-2023) meninggalkan jejak ambisius yang patut direnungkan. Dimulai dengan pembangunan Gedung Kantor Wali Kota di awal periode, hingga proyek-proyek ikonik di akhir masa jabatan seperti Menara Payung, Islamic Center, Gedung DPRD, dan Sirkuit Ratona, visi untuk menjadikan Palopo sebagai kota modern tampak begitu menjanjikan. Namun, di balik kilau infrastruktur tersebut, muncul bayang-bayang utang belanja yang membengkak, proyek mangkrak seperti Stadion Lagaligo dan Gedung Kesenian, serta sorotan masalah hukum yang kini menjadi beban berat bagi pemerintahan Wali Kota Naili Trisal dan Wakil Wali Kota Akhmad Syarifuddin. Ditambah lagi, pemerintahan baru ini harus menjalankan 25 program prioritas yang telah dijanjikan, membuat tantangan pembangunan semakin kompleks. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pelajaran berharga tentang bagaimana ambisi pembangunan harus diimbangi dengan kehati-hatian keuangan dan transparansi.

Ambisi Proyek: Langkah Maju yang Menginspirasi

Era Judas Amir menandai percepatan pembangunan infrastruktur multi-year, yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Gedung Kantor Wali Kota di awal periode menjadi simbol komitmen awal untuk memperkuat tata kelola pemerintahan. Di akhir masa jabatan, proyek seperti Menara Payung—dengan anggaran Rp 92 miliar—menjadi pusat kuliner dan cenderamata yang kini mulai beroperasi, meski sempat terkendala investor. Sirkuit Ratona, senilai Rp 49,3 miliar, juga berhasil rampung dan kini dikelola pihak ketiga, menghidupkan potensi olahraga motor di kawasan Songka. Sementara itu, revitalisasi Islamic Center (Rp 50 miliar tahap awal) dan Gedung DPRD (Rp 21 miliar) menjanjikan fasilitas publik yang lebih baik, mencerminkan upaya membangun kota yang inklusif dan berbudaya. Proyek-proyek ini, yang bersumber dari APBD 2021-2023, memang membawa perubahan nyata, seperti peningkatan akses wisata dan olahraga, serta mendukung visi Palopo sebagai "Kota Maju, Inovatif, dan Berkelanjutan." Ambisi ini patut diapresiasi, karena tanpa visi besar, Palopo mungkin masih terjebak dalam rutinitas biasa.

Warisan Utang: Beban Berat bagi Pemerintahan Naili-Akhmad

Namun, ambisi tersebut datang dengan harga mahal. Utang belanja Pemkot Palopo membengkak hingga Rp 250 miliar pada 2024-2025, dengan kontribusi terbesar dari Dinas PUPR mencapai Rp 119,9 miliar. Rinciannya mencakup Rp 76,5 miliar untuk bidang cipta karya, termasuk proyek multi-year seperti Menara Payung, Sirkuit Ratona, Islamic Center, serta revitalisasi Stadion Lagaligo dan rehabilitasi Gedung Kesenian. Utang ini bukan muncul dari ketiadaan pendapatan asli daerah (PAD), melainkan dari ketidaksesuaian target PAD 2023 yang memaksa pembayaran proyek bergantung pada anggaran tahun berikutnya. Akibatnya, pemerintahan Naili-Akhmad terpaksa merasionalisasi proyek baru, mengurangi belanja infrastruktur hingga 20-30% di 2025, demi pelunasan bertahap. Warisan ini menjadi beban berat, terutama karena pemerintahan baru ini juga harus mewujudkan 25 program prioritas yang dijanjikan, seperti peningkatan layanan kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan, yang membutuhkan dana besar. Warisan ini mengingatkan bahwa pembangunan harus berkelanjutan, bukan hanya megah di permukaan.

Beban bagi Masyarakat: PAD yang Bertumpu pada Pajak dan Retribusi

Yang lebih memprihatinkan, warisan utang ini secara tidak langsung membebani masyarakat Palopo, mengingat sumber utama PAD kota ini sangat bergantung pada pajak dan retribusi. Pada triwulan pertama 2025, PAD Palopo baru mencapai Rp 13,751 miliar atau 17,72% dari target tahunan Rp 77,614 miliar, dengan pengelolaan sembilan jenis pajak (seperti pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama) serta dua jenis retribusi. Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Palopo terus berupaya mengoptimalkan potensi ini melalui inovasi pelayanan dan sinergi dengan dinas terkait, termasuk penerapan opsen pajak kendaraan sejak Januari 2025. Namun, dengan utang yang menumpuk dan tekanan untuk mendanai 25 program prioritas, seperti pembangunan infrastruktur dasar dan bantuan sosial, peningkatan penerimaan PAD berpotensi menambah beban fiskal bagi warga, seperti melalui penagihan yang lebih ketat atau regulasi baru yang bisa dirasakan di kantong masyarakat sehari-hari. Masyarakat Palopo, yang mayoritas bergantung pada sektor informal dan pertanian, berhak bertanya: bagaimana memastikan pajak dan retribusi yang dibayarkan benar-benar membawa manfaat nyata, bukan justru menambah beban hidup? Ini menjadi pengingat bahwa pembangunan harus adil, dengan PAD yang digali secara berkelanjutan tanpa membebani rakyat kecil.

Ketegangan APBD Perubahan 2025: Alokasi Utang yang Dialihkan

Tahun ini, situasi semakin rumit dengan dinamika APBD Perubahan 2025. Pemkot Palopo mengalokasikan sekitar Rp 30 miliar untuk pembayaran utang belanja, yang merupakan rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Namun, dari alokasi tersebut, sekitar Rp 28 miliar telah digunakan untuk pelunasan sebagian utang, sementara sisanya sekitar Rp 2 miliar menurut DPRD dialihkan ke program lain tanpa pembahasan mendalam di Badan Anggaran. Hal ini memicu penolakan DPRD untuk menyetujui APBD Perubahan 2025, karena dianggap sebagai pengutak-atik sepihak yang berpotensi menambah utang daerah dan melanggar prinsip transparansi. Ketua DPRD Palopo, Darwis, menekankan bahwa program mandatori seperti pembayaran utang seharusnya tidak diganti dengan kegiatan baru yang "siluman" tanpa persetujuan dewan, yang bisa berujung pada defisit lebih besar. Akibatnya, Pemkot terpaksa mengandalkan APBD Pokok 2025, yang membatasi fleksibilitas anggaran untuk program prioritas. Ketegangan ini menunjukkan betapa krusialnya dialog eksekutif-legislatif untuk menjaga kestabilan fiskal, agar warisan utang tidak semakin menumpuk.

Proyek Mangkrak: Bayang-Bayang Hambalang di Palopo

Dua proyek yang paling mencolok adalah Stadion Lagaligo dan Gedung Kesenian. Stadion Lagaligo, dengan total anggaran Rp 40 miliar (termasuk Rp 19,5 miliar revitalisasi, Rp 14,7 miliar lanskap, dan Rp 4,8 miliar jogging track), telah menghabiskan Rp 29 miliar namun terhenti sejak awal 2024 dengan progres 80%. Tribun setengah jadi dan lapangan yang tak kunjung siap menjadi simbol kekecewaan, terutama bagi klub sepak bola Gaspa Palopo. Sementara itu, rehabilitasi Gedung Kesenian (Rp 6,95 miliar) juga mangkrak di progres 60%, meninggalkan fasilitas budaya yang vital bagi masyarakat. Yang lebih mengkhawatirkan, hingga September 2025, belum ada pemutusan kontrak dengan rekanan meski masa kontrak telah habis. Kondisi ini mengingatkan pada situs Hambalang di Bogor, proyek nasional yang mangkrak sejak 2011 akibat masalah hukum dan pemborosan anggaran. Stadion Lagaligo dan Gedung Kesenian, dengan dana besar yang telah cair namun hasil minim, mencerminkan risiko serupa: monumen kegagalan yang membebani keuangan daerah. Mangkraknya proyek ini bukan hanya soal fisik, tapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap janji pembangunan.

Proyek Baru 2025: Harapan dan Tantangan di Tengah Sorotan

Memasuki 2025, pemerintahan Naili-Akhmad meluncurkan proyek ambisius baru, seperti pembangunan Gedung Layanan Perpustakaan di eks Kantor Kesbangpol. Dimulai dengan peletakan batu pertama pada Maret 2025, proyek senilai Rp 9,971 miliar ini bersumber dari APBD dan Sub DAK Fisik Palopo menjadi satu-satunya kota di Sulawesi Selatan yang mendapat alokasi khusus untuk bidang ini. Tujuannya mulia: memperkuat budaya literasi menuju Indonesia Emas 2045, dengan fasilitas terpadu berbasis teknologi untuk mendukung ketahanan sosial dan ekologi. Namun, proyek ini dipastikan Adendum mengingat waktu pelaksanaannya dimulai Maret 2025 dengan masa waktu pelaksanaan 180 hari kerja. Proyek dengan progres pekerjaan diperkirakan 80% pada September 2025 menimbulkan kekhawatiran bahwa proyek ini berpotensi menambah daftar masalah dan melawati masa waktu pengerjaan. Jika menyebrang ke tahun 2026 akan menjadi utang daerah. Di tengah warisan utang sebelumnya, inisiatif positif seperti ini harus dijaga dengan transparansi ekstra, agar tidak terulang nasib proyek mangkrak yang mirip Hambalang.

Masalah Hukum: Sorotan yang Tak Bisa Diabaikan

Puncaknya, proyek-proyek ini kini dirundung isu hukum. Gedung DPRD, yang rampung 2022, menjadi sorotan setelah kerusakan akibat demo September 2025 memicu penyelidikan Kejaksaan Negeri Palopo atas dugaan korupsi senilai Rp 21 miliar. Selain itu, Menara Payung sempat diusut KPK atas dugaan penyimpangan, sementara Islamic Center pernah didera polemik klaim antara Yayasan dan Pemkot. Audit BPK terhadap Stadion Lagaligo juga menyoroti pembayaran prematur tanpa hasil memadai. Masalah ini menekankan pentingnya transparansi tender melalui LPSE dan pengawasan independen, agar proyek tidak berujung pada litigasi yang membebani APBD lebih lanjut.

Penyalahgunaan Wewenang: Harapan Gugurnya Utang atau Ilusi?

Di tengah beban utang ini, muncul sorotan baru: dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Jika terbukti, misalnya melalui penyelidikan KPK atau Kejaksaan, penyalahgunaan wewenang bisa menjadi dasar untuk menggugurkan sebagian utang daerah, terutama yang terkait dengan kontrak yang cacat hukum. Menurut UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, utang yang timbul dari pelanggaran hukum seperti mark-up anggaran atau manipulasi tender bisa dinyatakan tidak sah, sehingga kewajiban pembayaran kepada kontraktor dapat dibatalkan. Hal ini menjadi secercah harapan bagi Palopo untuk meringankan beban fiskal. Namun, proses ini bukan tanpa tantangan. Bukti penyalahgunaan harus kuat, dan proses hukumnya panjang, sering kali melibatkan audit mendalam oleh BPK dan koordinasi dengan aparat penegak hukum. Selain itu, pengguguran utang bisa memicu sengketa dengan kontraktor, yang justru menambah beban birokrasi. Meski begitu, langkah ini perlu ditempuh untuk menegakkan akuntabilitas dan melindungi keuangan daerah dari kerugian lebih lanjut.

Menuju Masa Depan: Pelajaran untuk Palopo yang Lebih Baik

Kisah proyek ambisius era Judas Amir adalah cermin bagi pemerintahan Naili-Akhmad: bagaimana mewariskan kemajuan tanpa meninggalkan beban. Langkah ke depan harus dimulai dari perencanaan matang dengan studi kelayakan yang realistis, pengawasan ketat melalui tim independen, dan transparansi penuh dalam pengadaan. Pemutusan kontrak untuk proyek mangkrak perlu segera dieksekusi sesuai Perpres Pengadaan Barang/Jasa, disertai kemitraan swasta untuk percepatan. Lebih dari itu, fokus pada 25 program prioritas—seperti pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan—harus diutamakan agar manfaat pembangunan dirasakan merata, sambil memastikan PAD dari pajak dan retribusi dikelola secara adil tanpa membebani masyarakat.

Palopo berhak atas infrastruktur yang bukan hanya megah, tapi juga berkelanjutan. Dengan belajar dari masa lalu, kota ini bisa bangkit lebih kuat: dari warisan utang menjadi cerita sukses bersama. Masyarakat, pemerintah, dan stakeholders harus bersatu, karena pembangunan sejati adalah ketika harapan tak lagi tertunda, melainkan menjadi kenyataan yang menyentuh kehidupan sehari-hari. (MUBARAK DJABAL TIRA)

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top