PEMBANGUNAN infrastruktur di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, seharusnya menjadi cerminan komitmen pemerintah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Bersumber dari uang pajak/retribusi yang disetor masyarakat. Namun, sorotan tajam kini tertuju pada proyek Rehabilitasi Rumah Jabatan (Rujab) Wali Kota Palopo tahun 2024, dengan pagu anggaran Rp900 juta, yang dikelola Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap kelebihan pembayaran dan kekurangan volume pekerjaan, memicu kecurigaan publik: apakah tender ini benar-benar transparan, atau hanya topeng untuk kepentingan segelintir pihak?
Transparansi yang Tersandung
LPSE, yang bertugas menjamin pengadaan barang dan jasa yang akuntabel, wajib mematuhi 17 Standar LKPP untuk memastikan proses tender terbuka dan adil. Namun, dugaan ketidakprofesionalan Unit Layanan Pengadaan (ULP) mencuat. Tuduhan bahwa tender sengaja diatur untuk menguntungkan rekanan tertentu mencoreng proyek yang seharusnya menjadi simbol efisiensi anggaran. Kegagalan pengawasan, baik dari LPSE maupun Dinas PUPR, terlihat jelas dari temuan BPK. Lebih mengkhawatirkan, informasi pemenang tender, termasuk asal perusahaan, sulit diakses di situs LPSE (https://lpse.palopokota.go.id). Apakah ini kelalaian biasa, atau upaya sengaja menutupi fakta?
Dinas PUPR, yang mengemban tanggung jawab teknis, tak luput dari kritik. Meski Kepala Dinas PUPR, Herianto, pernah menunjukkan langkah positif melalui Bimbingan Teknis Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) pada 2022, kasus-kasus di dinasnya melemahkan kepercayaan publik. Pemeriksaan Unit Tipikor Polres Palopo terhadap proyek pengendalian banjir Rp30 miliar (2024) dan temuan BPK pada Rehab Rujab Wali Kota memperlihatkan celah pengawasan yang serius. Kadis PUPR, sebagai pimpinan, tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas kegagalan administratif ini.
Bayang-Bayang Kolusi dan Ketidakadilan
Spekulasi bahwa perusahaan dari Kabupaten Luwu mendominasi tender di Palopo memicu pertanyaan ? Ketiadaan data publik di LPSE memperkuat dugaan adanya preferensi regional, bahkan kolusi. Padahal, Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018, yang diubah oleh Perpres No. 46 Tahun 2025, menegaskan prinsip persaingan sehat dan transparansi. Kegagalan mempublikasikan hasil tender melanggar Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021, yang mewajibkan keterbukaan informasi. Skandal pengadaan bukan hal baru di Palopo. Kasus korupsi pengadaan pipa Rp15 miliar pada 2016, yang merugikan negara Rp5,5 miliar, menjadi pengingat bahwa sistem pengadaan di kota ini rentan disalahgunakan.
Langkah Menuju Perbaikan
Pemerintah Kota Palopo harus bertindak cepat untuk memulihkan kepercayaan. Pertama, LPSE wajib mempublikasikan data lengkap pemenang tender, termasuk nama perusahaan, alamat, dan hasil evaluasi. Kedua, Dinas PUPR harus melakukan audit internal menyeluruh untuk mengatasi kelemahan pengawasan. Ketiga, temuan BPK harus ditindaklanjuti dengan investigasi oleh penegak hukum. Keempat, pelibatan masyarakat dan media sebagai pengawas independen harus digalakkan. Langkah Pj Wali Kota Palopo dalam Survei Penilaian Integritas KPK 2025 dan Pakta Integritas Kadis PUPR adalah awal yang baik, tetapi tanpa tindakan nyata, semua hanya janji kosong.
Harapan dari Infrastruktur yang Inklusif
Di tengah sorotan, Palopo juga menunjukkan titik cerah. Alokasi dana Rp11,9 miliar dari APBN melalui Program Inpres Jalan Daerah (IJD) untuk revitalisasi Jalan Andi Bintang (Rp7,9 miliar) dan pembangunan Jembatan Kambo-Battang (Rp4 miliar) menjadi bukti komitmen pembangunan. Jalan Andi Bintang, urat nadi ekonomi Kecamatan Sendana, dan Jembatan Kambo-Battang di Kecamatan Mungkajang, bukan sekadar proyek fisik, tetapi simbol konektivitas dan pemerataan. Wali Kota Hj. Naili Trisal, bersama Akhmad, dengan visi “Palopo Baru,” menunjukkan langkah konkret menuju pembangunan inklusif. Namun, transparansi, ketepatan waktu, dan kualitas konstruksi harus dijaga ketat, dengan masyarakat sebagai pengawas aktif.
Palopo Baru: Visi Keadilan
Rehabilitasi Rujab Wali Kota 2025, yang menelan Rp600 juta dari pajak rakyat, seharusnya menjadi simbol kepemimpinan yang bertanggung jawab, bukan sumber kontroversi. Palopo sedang menulis babak baru menuju kesejahteraan. Infrastruktur yang memadai adalah jembatan menuju keadilan, bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk generasi mendatang. LPSE dan Dinas PUPR harus membuktikan komitmen mereka dengan fakta, bukan kata-kata. Palopo Baru bukan sekadar slogan, tetapi visi nyata untuk pembangunan yang transparan, inklusif, dan berpihak pada rakyat. Masyarakat menanti bukti, bukan janji. (MUBARAK DJABAL TIRA)