Peristiwa di Kelurahan Ponjalae, Palopo, pada Senin, 27 Oktober 2025, di mana sekelompok orang mengusir petugas Pengadilan Agama (PA) Palopo yang hendak mengeksekusi harta warisan, menjadi sorotan serius. Tindakan pengusiran ini bukan hanya bentuk penolakan terhadap eksekusi hukum, tetapi juga perbuatan pidana yang dapat dikategorikan sebagai merintangi proses penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 212 dan 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah kriminalisasi terhadap tiga ahli waris, oleh Polisi disangkakan terhadap Ahmad Haring, Kusmawati H, dan Hj. Baeti Mega Hati atas tuduhan melanggar Pasal 170 dan/atau Pasal 167 KUHP. Sementara JPU mendakwa 3 ahli waris dengan tuduhan Pasal 170, 406, dan/atau 167 jo 55 KUHP. Kasus ini bukan sekadar sengketa warisan, melainkan cerminan bagaimana hukum dapat disalahgunakan, mengancam asas keadilan dan kepastian hukum.
Sengketa ini berpangkal dari putusan Pengadilan Agama Palopo Nomor 120/Pdt.2022/PA. Plp tanggal 6 Juli 2022, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 276 K/Ag/2022 tanggal 13 April 2023. Penolakan Peninjauan Kembali (PK) pada 2 Juli 2024 mengukuhkan status inkrah putusan tersebut, yang mengesahkan hak waris para ahli waris. Namun, Polres Palopo menetapkan ketiga ahli waris sebagai tersangka pada 20 Juni 2025, dengan kasus yang kini telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Palopo. Ironisnya, majelis hakim yang menangani kasus pidana ini dipimpin oleh ketua PN Palopo yang sebelumnya mengeluarkan penetapan eksekusi lelang pada 20 Januari 2025. Ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana netralitas peradilan dapat terjaga di tengah potensi benturan kepentingan?
Tindakan sekelompok orang yang mengusir petugas PA Palopo jelas merupakan perbuatan pidana karena merintangi tugas pejabat yang sah. Pasal 212 KUHP mengatur perlawanan terhadap pejabat yang menjalankan tugas, sementara Pasal 216 KUHP menyoal keengganan memenuhi perintah penguasa. Tindakan ini memperkeruh situasi hukum dan menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap prosedur hukum yang benar. Namun, meneruskan proses pidana terhadap ahli waris yang dilindungi putusan inkrah menunjukkan kecenderungan kriminalisasi sengketa sipil, yang bertentangan dengan asas ne bis in idem. Selektivitas penegakan hukum, empat terlapor diselesaikan melalui restorative justice, sementara tiga lainnya dipidana, menguatkan dugaan adanya motif pribadi, seperti konflik keluarga atau penyalahgunaan laporan.
Situasi ini diperburuk oleh sikap jaksa yang memutuskan penahanan terhadap ketiga ahli waris, sehingga kini mereka dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Palopo. Langkah ini terasa berlebihan dan tidak proporsional, mengingat bukti pidana yang lemah serta adanya putusan perdata inkrah yang seharusnya menjadi tameng hukum. Penahanan ini bukan hanya menambah penderitaan keluarga, tetapi juga memperkuat kesan bahwa proses hukum digunakan untuk membungkam pihak yang berhak atas warisan, alih-alih mencari keadilan.
Polisi, dalam konteks ini, hanya berwenang mengamankan proses eksekusi, bukan menentukan penundaan. Penundaan eksekusi hanya dapat diputuskan oleh Ketua Pengadilan Negeri, dengan alasan seperti gugatan pihak ketiga, perdamaian, atau penetapan khusus untuk Peninjauan Kembali. Ketidakpatuhan terhadap prosedur ini, ditambah kurangnya edukasi hukum di kalangan masyarakat, memperkeruh situasi yang seharusnya dapat diselesaikan secara damai melalui jalur hukum yang benar.
Aksi demonstrasi Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) Luwu Raya pada 26 Oktober 2025 di depan Kejaksaan Negeri Palopo mencerminkan kegelisahan publik. Mereka menuntut Aparat Penegak Hukum (APH) meneliti kasus ini secara cermat, terutama karena pengabaian putusan Mahkamah Agung melanggar prinsip kepastian hukum. Dugaan benturan kepentingan di PN Palopo memperkuat urgensi pengawasan ketat terhadap independensi peradilan.
Kasus ini mengungkap masalah sistemik: kecenderungan mengkriminalisasi sengketa sipil, inkonsistensi penegakan hukum, dan lemahnya pengawasan internal. Hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan justru menjadi alat untuk menjerat pihak yang lemah. Jaksa Agung, Kapolri, dan Mahkamah Agung harus segera bertindak, mengevaluasi proses pidana ini, dan memastikan transparansi serta akuntabilitas. Jika terbukti ada pelanggaran, sanksi tegas harus ditegakkan.
Sidang perdana kasus ini pada Kamis mendatang harus menjadi titik balik untuk memulihkan marwah peradilan. Reformasi prosedural, termasuk pedoman tegas untuk memisahkan ranah sipil dan pidana serta pengawasan ketat terhadap benturan kepentingan, menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa langkah nyata, kasus Palopo akan terus mencoreng kepercayaan publik terhadap hukum, meninggalkan kesan bahwa keadilan hanya milik mereka yang berkuasa. Hukum harus melindungi, bukan menindas. Keadilan bukan ilusi, tetapi pilar yang harus ditegakkan dengan integritas. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tags:
Hukum
