ads

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

 

Kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, pada 28 Agustus 2025, adalah luka baru dalam catatan kelam pengelolaan aksi massa di Indonesia. Dilindas kendaraan taktis polisi saat demonstrasi buruh di Jakarta, nyawa Affan melayang, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan komunitas ojol. Insiden ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan cerminan pola pengendalian massa yang keras dan berulang, yang terus mencoreng wajah Polri. Jeritan rakyat kecil, yang hidup sudah terhimpit kebijakan ekonomi, kini harus menghadapi represi aparat yang seharusnya melindungi.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera menyampaikan permintaan maaf dan janji bertanggung jawab. “Saya sangat menyesali insiden ini,” ujarnya pada 28 Agustus 2025. Tujuh anggota Brimob telah diamankan, dan penyelidikan oleh Divisi Propam digulirkan. Namun, respons cepat ini terasa hampa di tengah data yang mengungkap pola kekerasan polisi bukan kejadian terpisah. Amnesty International mencatat, dalam aksi #PeringatanDarurat (22-29 Agustus 2024), 579 korban di 14 kota menjadi saksi represi sistematis: 344 ditangkap sewenang-wenang, 152 luka fisik, dan 17 terpapar gas air mata berbahaya. Pada demo 28 Agustus 2025, lebih dari 400 penangkapan dan 150 korban luka di Jakarta, dengan bukti visual polisi memukuli demonstran dan jurnalis, mempertegas kegagalan pengendalian massa yang manusiawi.

Pemicu aksi ini adalah kemarahan buruh terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap membebani rakyat kecil. Inflasi melonjak, biaya hidup meroket, sementara upah tertahan—kontradiksi dengan janji “kedaulatan pangan” pemerintahan baru. Ketegangan diperparah oleh tunjangan mewah DPR yang memicu demo sebelumnya pada 25 Agustus 2025. Kris Tjantra dari PDIP menilai DPR gagal menangkap aspirasi rakyat, sementara narasi “kaki tangan asing” dari mantan Kepala BIN Hendropriyono terasa seperti upaya mengalihkan isu dari akar masalah: ketidakadilan sosial dan respons represif polisi.

Data KontraS mencatat, dari 2019 hingga 2022, 921 kasus kekerasan polisi dalam demonstrasi menyebabkan 1.627 luka dan 304 kematian. Tragedi Kanjuruhan 2022, dengan 135 korban jiwa akibat gas air mata, menjadi puncak kegagalan Polri. Penggunaan kekuatan berlebih, seperti gas air mata dan penembakan, kerap melanggar Pedoman PBB tentang Penggunaan Kekuatan (1990) dan UUD 1945 Pasal 28E(3). Hanya 23,6% korban kekerasan yang melapor ke polisi (BPS 2022), menunjukkan kepercayaan publik yang runtuh, merosot dari 73,2% (April 2023) ke 61,6% (Mei 2023).

Anggaran Polri yang terus membengkak—dari Rp84,5 triliun (2018) hingga Rp106,1 triliun (2025 setelah efisiensi)—seharusnya memperkuat pelayanan publik, bukan represi. Namun, kritik dari masyarakat sipil menyoroti rendahnya transparansi penyerapan anggaran dan minimnya dampak pada reformasi. Kultur kekerasan, pendidikan militeristik, dan impunitas (90% kasus tak ditindak) menjadi akar masalah. Sanksi etik atau mutasi sering jadi pelarian, tanpa proses hukum yang tegas.Visi “PRESISI” Jenderal Sigit—Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan—terasa seperti janji kosong ketika nyawa rakyat terus jadi korban. Meski mendapat dukungan Presiden Prabowo, kritik atas independensi Polri dan penanganan kekerasan tak pernah surut. Reformasi mendesak diperlukan: revisi UU Kepolisian, pemasangan CCTV di ruang interogasi, larangan gas air mata eksesif, dan investigasi independen oleh Komnas HAM. Tanpa langkah nyata, keadilan hanya akan jadi ilusi.Tragedi Affan adalah peringatan: rakyat yang hidup terhimpit kebijakan tak boleh lagi mati di bawah roda kekerasan aparat. Polri harus membuktikan komitmennya dengan tindakan, bukan sekadar maaf.


Desakan Mundur Untuk Kapolri: Bukan Harus, Tapi Bisa Jadi Langkah Bijak

Secara hukum, Kapolri tidak harus mundur—ini bukan pelanggaran pribadi langsung, dan Polri sudah ambil langkah responsif seperti penyelidikan Propam dan permintaan maaf. Namun, dari sudut pandang truth-seeking dan non-partisan, mundur bisa menjadi pilihan moral yang kuat untuk memulihkan kepercayaan publik, terutama di tengah tren kekerasan Polri yang sistematis (seperti 579 korban di demo #PeringatanDarurat 2024 menurut Amnesty). Insiden Affan bukan isolasi, tapi puncak gunung es yang menunjukkan kegagalan reformasi di bawah Sigit, meski visi "PRESISI"-nya menjanjikan transparansi. Jika aksi damai terus dibalas represi, kepercayaan publik akan semakin terkikis, dan Indonesia hanya akan tenggelam dalam kecemasan. Pilihan ada di tangan Polri: reformasi atau repetisi tragedi. (MUBARAK DJABAL TIRA)

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top