![]() |
Foto (Ilustrasi). |
Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dihadapkan pada tantangan serius di tengah pesatnya pertumbuhan ritel modern, seperti Alfamidi, Alfamart dan Indomaret. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Palopo, lebih dari 50 gerai ritel, termasuk minimarket dan toko swalayan, beroperasi di kota ini, namun sebagian besar belum mengantongi izin gudang penyimpanan sebagaimana diwajibkan regulasi. Ketidakpatuhan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko terhadap keselamatan konsumen, lingkungan, dan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal. Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo didesak bertindak tegas untuk menegakkan aturan demi menjaga iklim usaha yang sehat dan adil.
Regulasi Jelas, Pelanggaran Nyata
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2021, setiap ritel modern wajib memiliki Izin Usaha Perdagangan Perbenjikan (IUPM) yang mencakup verifikasi fasilitas gudang untuk memenuhi standar keamanan dan sanitasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 mewajibkan gudang ritel memenuhi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 52101 atau 52102, dengan kepemilikan Tanda Daftar Gudang (TDG) dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Namun, mayoritas ritel di Palopo masih mengabaikan kewajiban ini, berpotensi memicu risiko seperti kebakaran, kontaminasi barang, hingga pelanggaran pajak impor.
Fenomena ini bukan hal baru. Awal 2025, kasus gerai Mie Gacoan di Palopo mencuat ketika DPRD setempat mendesak penutupan sementara oleh Satpol PP karena izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) belum lengkap. Kasus serupa kini terdeteksi pada puluhan ritel modern, yang keberadaannya tanpa izin gudang dapat mengganggu rantai pasok dan menekan pelaku UMKM tradisional.
Ancaman bagi Ekonomi Lokal
Dengan populasi sekitar 180.520 jiwa pada 2024, Palopo mengandalkan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi, menyerap 97% tenaga kerja lokal dan menyumbang 90% pasar ritel tradisional, menurut data Euromonitor. Kehadiran ritel modern yang tidak patuh aturan berpotensi mendominasi pasar, menekan harga, dan mengurangi kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencapai Rp 42,35 juta per kapita per tahun. Ketidaktertiban ini juga merugikan Pemkot akibat hilangnya potensi retribusi daerah.
Langkah Konkret Diperlukan
Pemkot Palopo harus segera bertindak. Pertama, lakukan audit menyeluruh terhadap 50-an ritel dalam waktu 30 hari melalui tim gabungan DPMPTSP, Dinas Lingkungan Hidup, dan Satpol PP. Sanksi tegas, mulai dari administratif hingga pidana sesuai Pasal 139 UU Cipta Kerja, perlu diterapkan bagi pelaku usaha yang bandel. Kedua, fasilitasi percepatan izin melalui sistem Online Single Submission (OSS) untuk mendorong kepatuhan, dengan insentif seperti keringanan retribusi bagi ritel yang bermitra dengan UMKM lokal. Ketiga, Pemkot perlu mengedukasi publik melalui kampanye di media sosial dan forum DPRD, mendorong konsumen yang didominasi usia produktif memilih ritel bertanggung jawab.
Investasi Jangka Panjang
Menertibkan ritel modern bukanlah sekadar kewajiban administratif, melainkan langkah strategis untuk melindungi konsumen, menjaga lingkungan, dan memperkuat ekonomi lokal. Dengan menegakkan regulasi secara adil, Palopo dapat membangun iklim usaha yang harmonis, menggabungkan modernitas ritel dengan nilai-nilai keadilan bagi pelaku usaha tradisional. Kini saatnya Pemkot Palopo menunjukkan komitmen nyata bukan hanya instruksi, tetapi aksi demi masa depan kota yang lebih baik. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tidak ada komentar: