Palopo, Sulawesi Selatan, menjadi saksi bisu atas drama hukum yang memprihatinkan. Kasus penahanan tiga ahli waris, Ahmad Haring alias Ahmad, Kusmawati H, dan Hj. Baeti Mega Hati di Palopo, Sulawesi Selatan, atas tuduhan melanggar Pasal 170 KUHP dan/atau Pasal 167 KUHP berdasarkan laporan polisi Nomor LP/BP163/III/2023/SPKT/Polres Palopo, sebuah kasus yang seharusnya tidak pernah sampai ke ranah pidana.
Ini mencerminkan penyimpangan serius dalam penegakan hukum. Awal mula masalah ini berasal dari salah satu saudara pelapor, yang juga sempat menjadi terlapor, yang menganggunkan tanah ke bank. Kredit macet, dan pelapor memenangkan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), diikuti eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Palopo pada 6 Februari 2025 berdasarkan Penetapan Ketua PN Palopo Kelas 1B Nomor 7/PDT.EKS/2024/PN.PLP tanggal 20 Januari 2025. Yang mana tanah tersebut merupakan warisan. Namun, proses pidana yang kini telah dilimpahkan ke pengadilan bertentangan dengan putusan pengadilan perdata yang final, menimbulkan dugaan kriminalisasi yang tidak berdasar.
Pelapor awalnya menyeret tujuh saudaranya ke ranah pidana, tetapi hanya tiga di antaranya Ahmad, Kusmawati, dan Hj. Baeti yang dilanjutkan proses hukumnya, sementara empat lainnya diselesaikan melalui restorative justice (RJ).
Proses perdata telah menyelesaikan sengketa ini secara tuntas. Sebelumnya total 12 penggugat terdiri dari Ahli waris dan Ahli waris Pengganti menggugat Amirudiin Bin H Haring di Pengadilan Agama Palopo terhadap 11 objek berupa tanah, bangunan, emas dan kendaran mobil dan perahu, melalui Putusan Nomor 120/Pdt.2022/PA.Plp tanggal 6 Juli 2022 menolak gugatan para penggugat terhadap objek warisan.
Melalui proses Banding, putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar melalui Putusan Nomor 99/Pdt.G./2022/PTA.Mks tanggal 21 September 2022, menerima sebagian gugatan para penggugat dan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 276 K/Ag/2022 tanggal 13 April 2023 mengesahkan hak waris terhadap objek tanah di Kelurahan ponjalae, Kecamatan Wara Timur, Kota Palopo. Upaya peninjauan kembali (PK) oleh pelapor, Amiruddin bin H. Haring, ditolak melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 88 PK/Ag/2024 tanggal 2 Juli 2024. Dengan status inkrah ini, penguasaan harta oleh ahli waris tidak memenuhi unsur pidana atau dengan kata lain Putusan inkrah ini seharusnya menjadi tameng hukum, bukan diabaikan demi proses pidana yang mencurigakan.
Namun, Polres Palopo menetapkan ketiga ahli waris sebagai tersangka pada 20 Juni 2025 melalui Penetapan Nomor Penetapan/197/VI/2025/Reskrim (Ahmad Haring), Nomor Penetapan/198/VI/2025/Reskrim (Kusmawati H), dan Nomor Penetapan/199/VI/2025/Reskrim (Hj. Baeti Mega Hati). Eksekusi properti, seperti ditunjukkan spanduk "Obyek Risalah Lelang Ini Telah Dieksekusi," menjadi pemicu tambahan konflik. Proses pidana berlanjut hingga tahap P-21 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Palopo dan kini telah dilimpahkan ke PN Palopo. Namun, muncul kekhawatiran serius mengenai benturan kepentingan, karena majelis hakim yang kini menangani kasus pidana dipimpin oleh ketua PN Palopo yang sebelumnya mengeluarkan perintah eksekusi dari risalah lelang. Hal ini berpotensi mengganggu imparsialitas dan menimbulkan keraguan terhadap keadilan proses.
Aksi demonstrasi Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) Luwu Raya pada 26 Oktober 2025, di depan Kejari Palopo, mencerminkan keresahan masyarakat terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang. Tuntutan mereka agar APH berhati-hati dan meneliti dengan baik kasus pidana ini. Mengingat pengabaian putusan Mahkamah Agung melanggar asas kepastian hukum dan ne bis in idem. Kekhawatiran benturan kepentingan di PN Palopo menambah urgensi transparansi dalam proses ini. Pertanyaan yang mendasar, bagaimana mungkin hakim yang terlibat dalam satu sisi konflik dapat menjaga netralitas di sisi lain?
Kasus ini mengungkap masalah sistemik: kecenderungan kriminalisasi sengketa sipil, inkonsistensi penegakan hukum (RJ untuk empat terlapor, pidana untuk tiga lainnya), dan lemahnya pengawasan internal. Kasus ini bukan sekadar kegagalan prosedural, melainkan cermin sistemik ketidakadilan. Selektivitas penegakan hukum, menggugat prinsip kesetaraan di muka hukum. Lebih jauh, kasus ini akan menarik perhatian publik luas, mahasiswa fakultas hukum, praktisi hukum, dan masyarakat hukum secara keseluruhan, masuk menguji dan meneliti kompleksitas celah sistemik ini, termasuk potensi benturan kepentingan di lembaga peradilan.
Eksekusi properti pasca-lelang dan peran majelis hakim yang sama dalam eksekusi dan kasus pidana memperkuat dugaan motif lain, seperti konflik keluarga atau penyalahgunaan laporan. Institusi penegak hukum menangani kasus pidana ini harus memberikan penjelasan transparan mengapa putusan MA diabaikan dan proses pidana diterapkan selektif. Jaksa Agung dan Kapolri perlu memastikan evaluasi menyeluruh, sementara Mahkamah Agung sebaiknya memeriksa potensi benturan kepentingan di PN Palopo, dengan sanksi tegas jika pelanggaran terbukti.
Hukum harus melindungi, bukan menjerat. Kriminalisasi tiga ahli waris di Palopo, ditambah eksekusi dan risiko imparsialitas hakim, mengikis legitimasi peradilan. Reformasi prosedural, termasuk pedoman tegas untuk membedakan ranah sipil dan pidana serta pengawasan ketat terhadap benturan kepentingan, menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa tindakan konkret, kasus ini akan memperkuat persepsi hukum dapat diatur dan diarahkan.
Hukum adalah pilar keadilan, bukan alat balas dendam pribadi. Kriminalisasi tiga ahli waris di Palopo, ditambah risiko bias hakim, menggugat legitimasi peradilan kita. Reformasi mendesak, pedoman tegas memisahkan ranah sipil dan pidana, pengawasan ketat terhadap benturan kepentingan harus segera ditegakkan. Tanpa langkah nyata, kepercayaan publik pada hukum akan terus luntur, meninggalkan kesan bahwa keadilan hanya ilusi bagi yang lemah. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tags:
Hukum
