Kenaikan harga beras di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, yang mencatatkan rekor sebagai harga eceran tertinggi (HET) termahal di provinsi, telah menjadi sorotan tajam. Data per Oktober 2025 menunjukkan harga beras medium di Palopo mencapai Rp16.000 per kilogram, jauh melampaui HET zona 1 sebesar Rp13.500. Bahkan, beras kualitas standar dijual Rp14.000, nyaris menyentuh HET beras premium Rp14.900. Lonjakan ini bukan sekadar angka, melainkan ancaman nyata bagi daya beli masyarakat, terutama kalangan berpenghasilan rendah.
Satuan Tugas (Satgas) Pangan Sulawesi Selatan dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menunjukkan respons, namun langkah mereka terasa setengah hati. Ketua Satgas Pangan Sulsel, Kombes Dedi, menyebut kemungkinan masalah distribusi sebagai penyebab, sementara Direktur Bapanas, Brigjen Hermawan, mengancam pencabutan izin bagi pelaku usaha yang menjual di atas HET. Ancaman ini patut diapresiasi, tetapi tanpa tindakan nyata, itu hanyalah gertakan kosong. Dengan stok beras Sulsel yang melimpah, mencapai 512.000 ton, pertanyaan mendasar muncul: mengapa harga masih tak terkendali? Apakah ini soal kelalaian pengawasan, atau ada oknum yang sengaja memainkan harga di balik layar?
Ironisnya, krisis di Palopo ini terjadi tepat di akhir 100 hari kerja pemerintahan Wali Kota Naili Trisal dan Wakil Wali Kota Akhmad Syarifuddin, pasangan yang diusung Partai Gerindra dan Demokrat pada Pilkada Palopo 2025. Dilantik pada 4 Agustus 2025, program 100 hari kerja Naili-Akhmad menjanjikan percepatan pelayanan publik transparan, realisasi program prioritas masyarakat, dan konsolidasi internal untuk sinergi antarlembaga, termasuk pengawasan ketat harga pangan melalui 25 program unggulan "Palopo Baru Menuju Kota Jasa Global". Di antaranya, komitmen memastikan ketersediaan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di pasar dan Bulog, sejalan dengan visi pemberdayaan UMKM serta ketahanan pangan lokal. Namun, lonjakan harga beras kini justru menguji janji tersebut: apakah "Palopo Baru" hanya slogan, atau ada kegagalan eksekusi di lapangan? Dengan dukungan kuat dari Gerindra, partai yang menaungi Presiden Prabowo Subianto, pemerintahan ini seharusnya mampu menjangkau jaringan nasional untuk intervensi cepat, bukan membiarkan masyarakat merasakan beban krisis.
Krisis di Palopo ini juga bertabrakan dengan program ambisius Presiden Prabowo Subianto untuk ketahanan pangan nasional. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP), Prabowo menekankan penghentian impor beras sejak awal 2025, penyerapan maksimal hasil panen petani, dan intervensi stabilisasi harga melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Target penyaluran beras SPHP tahun ini mencapai 1,5 juta ton, dengan operasi pasar yang telah dilakukan lebih dari 10.212 kali di seluruh provinsi hingga pertengahan Oktober 2025, peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya. Stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) bahkan telah menembus rekor 3,7 juta ton per Mei 2025, hasil dari arahan tegas Prabowo untuk memperkuat produksi dalam negeri dan menaikkan harga gabah petani agar kesejahteraan mereka terjaga. Kebijakan ini telah diapresiasi DPR, dengan survei Litbang Kompas Oktober 2025 menunjukkan 83 persen responden puas dengan beras SPHP yang terjangkau dan berkualitas, serta 77 persen yakin kenaikan harga gabah meningkatkan kesejahteraan petani.
Namun, prestasi nasional ini seolah tak menyentuh Palopo. Dinas Perdagangan, sebagai pengawas harga di pasar lokal, dan Perum Bulog, yang bertugas menjaga stabilitas pangan, tampaknya belum menjalankan peran mereka secara optimal. Minimnya operasi pasar di Palopo memperlihatkan betapa rapuhnya koordinasi dalam rantai distribusi pangan. Padahal, operasi pasar yang masif dan pengawasan ketat adalah solusi konkret untuk menekan harga kembali ke koridor HET, sejalan dengan mandat Inpres Prabowo yang menugaskan Bulog menyerap hingga 3 juta ton gabah setara beras. Lebih dari itu, sanksi tegas, seperti pencabutan izin usaha bagi pedagang atau distributor yang melanggar, harus segera diterapkan untuk memberikan efek jera, sesuai arahan Bapanas yang kini di bawah Kepala Andi Amran Sulaiman, eksekutor utama visi Prabowo.
Kenaikan harga beras bukan sekadar masalah lokal di Palopo, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam pengendalian pangan. Jika dibiarkan berlarut, ini berpotensi memicu inflasi daerah, memperburuk ketimpangan sosial, dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, termasuk program ketahanan pangan Prabowo yang menjanjikan kemandirian dan akses pangan terjangkau. Masyarakat Palopo berhak mendapatkan pangan dengan harga wajar, bukan hanya janji-janji manis dari otoritas.
Pemerintah daerah, Satgas Pangan, dan Bulog harus segera bangun dari tidur panjangnya. Operasi pasar yang agresif, pengawasan distribusi yang ketat, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah langkah mendesak yang harus diwujudkan, selaras dengan semangat Inpres Prabowo untuk swasembada beras dan stabilisasi harga. Kini saatnya pemerintah membuktikan komitmennya di lapangan, bukan sekadar di atas kertas. Masyarakat menanti aksi nyata. Pemerintah, sudahkah Anda mendengar jeritan rakyat Palopo di tengah program megah yang digadang-gadang? (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tags:
Ekonomi
