ads

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

 

LANGIT Indonesia di penghujung Agustus 2025 memang kelam, bukan hanya oleh awan, tetapi oleh gelombang kemarahan rakyat yang mencapai titik didih. Demonstrasi yang bermula dari hasrat akan keadilan berubah menjadi chaos di berbagai kota, dari Jakarta hingga Palopo. 

Gedung-gedung pemerintah rusak, sepuluh nyawa melayang, ratusan luka-luka baik itu dari massa aksi dan polisi, ribuan orang ditangkap dan coretan protes menghiasi dinding. Pemerintah buru-buru melabeli aksi ini sebagai “anarkis,” seolah-olah rakyat yang turun ke jalan hanyalah perusuh tanpa tujuan. Namun, tuduhan ini tidak hanya keliru, tetapi juga menutup mata dari akar masalah: ketidakpuasan mendalam terhadap sistem yang dianggap korup, timpang, dan represif. Dengan 25 tuntutan yang digaungkan, rakyat menyerukan perubahan mendasar bukan represi yang justru memperkeruh suasana.

Kabinet yang Gemuk, Kepercayaan yang Rapuh 

Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan utama. Dengan jumlah menteri dan pejabat yang membengkak, 48 menteri, 56 wakil menteri, ditambah berbagai penasihat dan utusan khusus, kabinet ini menjadi yang terbesar sejak era Orde Baru. Namun, kuantitas tidak menjamin kualitas. Kontroversi terus bermunculan, mulai dari dugaan pelanggaran UU TNI terkait pelantikan Mayor Teddy, isu penggunaan kop surat kementerian oleh Yandri, hingga pernyataan-pernyataan pejabat yang dinilai kurang sensitif, seperti Fadli Zon yang menyebut peristiwa 1998 sebagai “rumor” atau pernyataan Wakil Menteri Agama Romo Syafi’i tentang “budaya” menjelang Lebaran, upaya pembenaran Amran Sulaiman membandingkan kenaikan harga beras di Indonesia dan Jepang. Ketidakselarasan ini memperdalam krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan.

Penghargaan Kontroversial: Dari Elit hingga Mantan Narapidana

Penganugerahan tanda kehormatan oleh Presiden Prabowo pada 25 Agustus 2025 menambah bahan bakar kemarahan. Sebanyak 141 tokoh, termasuk elit politik dan bahkan mantan terpidana korupsi, menerima Bintang Republik Indonesia dan Bintang Mahaputera. Nama-nama seperti Puan Maharani, Ahmad Muzani, hingga Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden, menjadi sorotan. Yang paling kontroversial adalah pemberian penghargaan kepada Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur BI yang pernah divonis korupsi, dan Johanes Gluba Gebze, eks Bupati Merauke dengan rekam jejak serupa. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2009, tanda kehormatan seharusnya diberikan kepada individu dengan “laku luar biasa” untuk keutuhan NKRI. Pemberian ini, sayangnya, justru terlihat seperti pengabaian terhadap integritas dan keadilan.

Bukan Anarkisme, Tapi Kemarahan Terpendam

Melabeli demonstrasi sebagai “anarkis” adalah upaya yang keliru untuk mendiskreditkan suara rakyat. Mahasiswa, buruh, hingga pengemudi ojek online turun ke jalan bukan untuk merusak, melainkan untuk menuntut keadilan ekonomi, reformasi hukum, dan penghentian korupsi. Dari 25 tuntutan yang disuarakan, 17 menyoroti kebijakan ekonomi dan sosial, sementara 8 lainnya mengecam represi aparat dan ketimpangan struktural. Kekerasan yang terjadi, termasuk sepuluh nyawa yang hilang, adalah tragedi yang mencerminkan kegagalan sistemik. Di Palopo, kerusuhan di kantor DPRD berujung pada penetapan 2 orang sebagai tersangka pengerusakan, polisi menyebut kedua pendemo ini dibayar untuk ikut aksi sebesar Rp.400 ribu nilai itu tentu tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan dan ganjaran pidana yang menanti.

Tragedi dan Respons yang Kurang Memadai

Sepuluh nyawa yang hilang dalam bentrokan termasuk Affan Kurniawan yang tewas tragis adalah luka mendalam bagi bangsa. Kunjungan Presiden Prabowo ke korban luka, termasuk aparat, mungkin dimaksudkan untuk meredam ketegangan, tetapi tanpa tindakan konkret atas tuntutan rakyat, gestur ini terasa kosong. Janji “dialog” dan “evaluasi menyeluruh” tidak cukup. Rakyat menuntut reformasi nyata: kebijakan yang berpihak pada rakyat, penghentian kekerasan aparat, dan transparansi pemerintahan. Tanpa langkah nyata, kepercayaan publik akan semakin terkikis.

Narasi Konspirasi: Pengalihan atau Kenyataan?

Tuduhan “konspirasi makar dan terorisme” serta dugaan keterlibatan pihak asing, termasuk intelijen dalam kerusuhan hanya menambah kabut ketidakpastian. Isu seperti penyerangan kantor polisi, video oknum BAIS dan pasukan Kavaleri yang diamankan Brimob memicu spekulasi liar. Pernyataan Wakil Panglima TNI tentang kerahasiaan intelijen justru memperkeruh suasana. Apakah ini pengalihan isu untuk mendiskreditkan demonstrasi? Atau ada aktor tertentu yang memanfaatkan situasi? Yang jelas, narasi konspirasi tanpa bukti hanya memperburuk kepercayaan publik dan mengalihkan fokus dari isu utama: keadilan dan reformasi.

Reformasi Polri dan Seruan “Reset Indonesia”

Di antara 25 tuntutan, reformasi Polri menjadi sorotan utama. Kekerasan aparat, dari gas air mata hingga peluru karet, menunjukkan perlunya perombakan mendasar dalam institusi ini. Polisi harus kembali menjadi pelindung rakyat, bukan alat represi. Seruan “Reset Indonesia” yang menggema di media sosial adalah cerminan dari keinginan rakyat untuk membongkar sistem yang korup dan memperbaiki institusi yang rapuh. Ini bukan sekadar slogan, tetapi panggilan untuk perubahan struktural yang mendesak.

Ironi Sistemik: Korban Berjatuhan, Koruptor Dihormati

Ironi terbesar adalah ketika rakyat yang menyuarakan keadilan harus membayar dengan nyawa dan kerugian ratusan miliar, sementara mantan koruptor justru dianugerahi penghargaan tinggi. Kasus Burhanuddin Abdullah dan lainnya menunjukkan betapa timpangnya keadilan di negeri ini. Sementara pemerintah menghitung kerugian material akibat demonstrasi, kerugian triliunan akibat korupsi tampaknya luput dari perhatian. Koalisi masyarakat sipil menyebut pemberian penghargaan ini sebagai “pencederaan keadilan,” dan publik pun bertanya: mengapa rakyat yang menuntut perubahan dihukum, sementara pelaku korupsi justru dimuliakan?

Jalan ke Depan: Mendengar, Bukan Menuduh

Menyebut demonstrasi sebagai “anarkis” adalah cara mudah untuk mengelak dari tanggung jawab atas kegagalan sistemik. Pemerintah harus beralih dari tuduhan kepada dialog yang tulus. Sepuluh nyawa yang hilang bukan sekadar statistik; mereka adalah cerminan dari luka bangsa. Reformasi Polri, keadilan ekonomi, dan transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk menjawab 25 tuntutan rakyat dengan tindakan nyata, bukan sekadar gestur seremonial. Jika langkah ini tidak diambil, seruan “Reset Indonesia” akan terus bergema, dan semakin memantik emosi publik. Sebab, kita ingin menyambut Indonesia Emas yang dijanjikan dengan penuh keyakinan dan tanpa kekhawatiran. (MUBARAK DJABAL TIRA)

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top