LORONG sempit di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, menyimpan duka yang tak terucap. Di rumah sederhana Rusdamdiansyah, yang akrab disapa Dandi, tangis menggantikan kata. Minggu pagi, 31 Agustus 2025, pelayat melangkah pelan di gang yang cuma muat sepeda motor, seolah tak ingin mengguncang luka yang masih basah. Dandi, pemuda 26 tahun, driver ojek online yang mencari rezeki di jalanan, kini tinggal kenangan. Jumat malam, 29 Agustus 2025, di depan Universitas Bosowa, teriakan “intel!” yang tak terbukti menghentikan detak jantungnya, diterkam amuk massa yang buta.
Pukul 20.00 WITA, Dandi hanya menonton, berdiri di pinggir kerumunan demonstrasi yang kian kacau. Tiba-tiba, tuduhan “intel!” meledak bagai petir. Tanpa tanya, tanpa bukti, ia jadi korban. Pukulan dan tendangan mendarat bertubi-tubi, meninggalkan tubuhnya remuk. Dandi sempat dirawat di Rumah Sakit Kemenkes Center Point of Indonesia, tapi luka-lukanya terlalu berat. Sabtu pagi, 30 Agustus 2025, pukul 10.00 WITA, ia menyerah. Sore itu, usai salat Asar, tanah Panaikang, Makassar, memeluknya dalam sunyi abadi.
Kisah Dandi adalah serpihan dari luka besar yang mencabik Indonesia sejak 25 Agustus 2025. Demonstrasi, yang bermula dari kemarahan atas tunjangan DPR dan ketimpangan ekonomi, telah jadi badai yang menelan nyawa. Di Jakarta, Affan Kurniawan, ojol lain, tewas di bawah roda rantis Brimob pada 28 Agustus. Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2023, meninggal dunia usai mengikuti aksi demonstrasi di Polda DIY pada Sabtu (30/9) malam hingga Minggu (31/8) pagi. Di Makassar, tiga jiwa lainnya hilang dalam kobaran Gedung DPRD yang dibakar massa pada 29-30 Agustus: seorang staf, seorang fotografer, seorang petugas—terjebak dalam nyala kemarahan. Total, enam nyawa melayang. Lebih dari 200 orang luka: 38 di Jakarta terkapar akibat gas air mata dan pemukulan, lima di Makassar tersiksa luka bakar atau terluka melompat dari gedung, puluhan lainnya di Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dengan luka ringan hingga patah tulang. Bahkan 25 polisi di Jakarta terluka parah, korban amuk massa.
Tuduhan “intel” yang merenggut Dandi bukan sekadar salah langkah, melainkan cermin paranoia yang telah lama menggerogoti bangsa ini. Ia lahir dari ketidakpercayaan yang mengakar, dari rahasia penguasa yang tak pernah terbongkar. Tapi tuduhan tanpa dasar itu telah jadi vonis mati. Massa, yang turun demi keadilan, malah melahirkan ketidakadilan baru. Sementara itu, aparat, yang seharusnya melindungi, sering kali memicu bara dengan gas air mata dan kekerasan berlebih. Lebih dari 1.500 orang ditangkap, banyak di antaranya pelajar dan mahasiswa, seolah rakyat adalah musuh.
Pemerintah bergerak, tapi langkahnya goyah. Presiden Prabowo Subianto memerintahkan investigasi, tujuh polisi ditahan, DPR buru-buru mencabut tunjangan Rp50 juta per bulan. Tapi ini semua bagai menutup luka dengan kain compang. BEM SI dan buruh menuntut reformasi polisi, bahkan pembubaran DPR. Rupiah merosot, saham ambruk, dan rakyat kecil seperti Dandi yang membayar harga paling mahal.
Ada sesuatu yang patah di negeri ini. Ketika teriakan jadi hakim, ketika nyawa jadi taruhan, dan ketika kebenaran tenggelam dalam amarah, kita telah tersesat. Dandi, Affan, dan korban lainnya bukan sekadar angka. Mereka adalah wajah-wajah yang kita jumpai setiap hari: anak yang pulang membawa cerita, saudara yang berbagi tawa, tetangga yang menyapa di pagi hari. Jika paranoia terus memerintah, jika kekerasan jadi bahasa, dan jika dialog tak pernah diberi nafas, lorong-lorong seperti di Urip Sumoharjo akan terus jadi kuburan duka. Hanya keberanian untuk jujur, untuk mendengar, dan untuk memperbaiki yang bisa menyelamatkan kita dari jurang ini.
Catatan: Data korban masih mungkin bertambah, menunggu laporan terbaru dari Pemerintah dan Komnas HAM. Pada 31 Agustus 2025, Jakarta mulai reda, tapi ketegangan masih mengintai di berbagai daerah. Bersuara, tapi jangan sampai kehilangan kemanusiaan. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tidak ada komentar: