MEGAH di atas kertas, rapuh di lapangan. Gedung DPRD Kota Palopo, yang menyerap anggaran puluhan miliar dari APBD, kini menjadi simbol kegagalan. Proyek yang seharusnya mencerminkan kemajuan daerah ini malah terjebak dalam pusaran dugaan korupsi dan kerusakan akibat kericuhan demonstrasi mahasiswa pada 1 September 2025. Publik pun bertanya: ke mana larinya uang rakyat?
Proyek ini dimulai pada 2021, ketika CV Tirani Teknik Pratama memenangkan tender tahap pertama senilai Rp10,97 miliar dari pagu Rp11 miliar. Lalu, pada 2022, PT Delima Utama melanjutkan pembangunan dengan nilai penawaran Rp21,72 miliar dari pagu Rp23,86 miliar. Anggaran fantastis ini seharusnya menghasilkan bangunan kokoh dan representatif. Namun, aksi massa yang berujung rusuh mengungkap fakta pahit: kaca fasad gedung pecah, tiang beton berlubang, dan material seperti GRC diduga tak sesuai standar. Bangunan yang baru rampung beberapa tahun lalu ini ternyata rapuh, memicu kecurigaan adanya penyimpangan sejak proses tender hingga pelaksanaan.
Kejaksaan Negeri Palopo bergerak cepat. Surat perintah penyelidikan diterbitkan, dan tim penyidik kini menggali dokumen tender serta pelaksanaan proyek. Dengan melibatkan tim ahli konstruksi dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Kejari fokus memeriksa apakah proyek ini sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya dan spesifikasi teknis. Dugaan penggunaan material di bawah standar menjadi titik awal penyelidikan. “Jika ada indikasi kerugian negara, kami akan naikkan ke tahap penyidikan,” tegas Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Palopo, Yoga. Langkah ini menjadi harapan untuk menguak tabir di balik proyek mercusuar yang kini memalukan.
Namun, sorotan tak hanya tertuju pada dugaan korupsi. Kericuhan 1 September lalu mengungkap sisi lain: dua tersangka pengerusakan, FNK (25) dan MA (23), oleh Polisi dituding massa bayaran yang diimingi Rp400 ribu. Mereka bukan mahasiswa, melainkan pihak yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Fakta ini menambah kompleksitas masalah, menunjukkan betapa rawan situasi sosial dimanipulasi di tengah ketidakpuasan publik. Penegakan hukum terhadap pelaku rusuh tetap berjalan, tetapi jangan sampai mengaburkan isu utama: potensi penyelewengan anggaran.
Kasus Gedung DPRD Palopo adalah potret buram tata kelola keuangan daerah. Proyek besar kerap menjadi lahan subur korupsi jika pengawasan lelet dan akuntabilitas absen. Masyarakat Palopo menanti hasil penyelidikan Kejari, yang akan menentukan apakah gedung ini bisa direhabilitasi menjadi kebanggaan daerah atau justru menjadi monumen korupsi. Di tengah gempuran ketidakpercayaan publik, Kejari Palopo punya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa hukum masih bisa menegakkan keadilan. Publik menunggu: akankah ada kepala yang berguling, atau cerita ini berakhir sebagai skandal yang menguap begitu saja? (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tidak ada komentar: