Oleh Mubarak Djabal Tira
Bencana alam yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera akhir 2025, banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat, sekali lagi menguji ketangguhan bangsa ini. Di tengah duka yang mendalam, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) muncul sebagai salah satu pilar utama penyangga harapan masyarakat. Ribuan personel dikerahkan, bantuan logistik didistribusikan, unit K-9 mencari korban tertimbun, hingga tim Disaster Victim Identification (DVI) bekerja cepat mengidentifikasi jenazah. Bahkan, Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo turun langsung ke lapangan, meninjau lokasi terdampak dari Medan hingga Padang Pariaman, meresmikan sumur bor air bersih, dan memastikan dapur umum beroperasi. Gambaran ini menunjukkan negara hadir di saat rakyat paling membutuhkan.
Peran Polri dalam penanggulangan bencana memang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Institusi ini bukan hanya penegak hukum, melainkan pelindung jiwa, harta benda, dan ketertiban masyarakat di masa darurat. Respons cepat Polri di lapangan patut diapresiasi sebagai wujud nyata pelayanan publik yang humanis.
Namun, di balik apresiasi itu, kita tidak boleh menutup mata terhadap sejumlah catatan kritis. Koordinasi antarlembaga masih sering menemui hambatan, sumber daya terbatas, dan ketergantungan berlebih pada Polri untuk mengisi kekosongan fungsi instansi lain. Ini mencerminkan kelemahan sistemik yang lebih luas dalam manajemen bencana nasional. Polri tidak boleh terus-menerus hanya bereaksi; ia perlu lebih prediktif, memanfaatkan teknologi drone, pemetaan risiko, dan analitik data untuk mengantisipasi ancaman sebelum menjadi malapetaka.
Di sinilah transformasi Polri Presisi, Prediktif, Responsif, dan Transparan Berkeadilan menjadi relevan. Program yang digagas sejak kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini, dengan empat pilar utamanya (organisasi, operasional, pelayanan publik, dan pengawasan), telah menunjukkan kemajuan. Sanksi tegas terhadap ratusan personel pelanggar pada 2025, integrasi teknologi modern, serta peningkatan kepercayaan publik dalam berbagai survei, merupakan bukti nyata.
Akan tetapi, transformasi ini tidak berjalan tanpa hambatan. Polri, sebagai anak kandung reformasi 1998 lahir dari pemisahan dengan militer melalui Tap MPR No VI/2000 dan UU No 2/2002 seharusnya menjadi teladan supremasi sipil dan profesionalisme. Sayangnya, penerbitan Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 yang membolehkan penugasan anggota aktif di jabatan sipil justru memicu kontroversi. Perpol ini dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang mewajibkan anggota Polri aktif mundur atau pensiun jika menduduki posisi sipil. Kritik dari para pakar hukum tata negara menegaskan bahwa regulasi internal tidak boleh mengabaikan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Kontroversi ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan ujian kredibilitas terhadap komitmen Polri pada semangat reformasi. Jika dibiarkan, ia berpotensi menggeser fokus institusi dari tugas pokok penegakan hukum dan pelayanan masyarakat, termasuk dalam penanganan bencana dan penegakan hukum lingkungan terhadap illegal logging yang menjadi pemicu utama bencana hidrometeorologi.
Transformasi Presisi harus menjadi momentum untuk menuntaskan warisan reformasi yang belum selesai. Polri perlu terus introspeksi, menyelesaikan kontroversi regulasi secara transparan, dan memperkuat peran prediktifnya dalam resiliensi nasional. Hanya dengan begitu, Polri dapat benar-benar menjadi pelindung sejati rakyat, bukan hanya saat bencana datang, melainkan dalam membangun Indonesia yang lebih tangguh menuju 2045.
Di akhir tahun yang penuh cobaan ini, rakyat berharap Polri tetap setia pada janji reformasinya: hadir untuk melayani, bukan sekadar berkuasa. (****)

Posting Komentar untuk "Polri: Pewaris Reformasi yang Masih Bertumbuh"