Oleh: Mubarak Djabal Tira
Di akhir Desember 2025, ketika bangsa ini sibuk merayakan transisi tahun baru, sebuah aspirasi lama dari timur Sulawesi Selatan kembali mengemuka dengan nada yang semakin mendesak: pembentukan Provinsi Luwu Raya. Bukan sekadar wacana administratif, tapi tuntutan moral yang berakar pada pengorbanan heroik rakyat Tana Luwu di awal kemerdekaan Indonesia. Dua hari pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, pada 19 Agustus, Datu Luwu Andi Djemma dengan tegas menyatakan bahwa Kedatuan Luwu berdiri di belakang NKRI, menjadikannya kerajaan pertama di Sulawesi yang bergabung dengan Republik. Pengabdian itu memuncak dalam Perlawanan Semesta Rakyat Luwu pada 23 Januari 1946, ketika ribuan rakyat angkat senjata melawan Belanda, mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih.
Andi Djemma, yang kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2002, bahkan ditangkap dan diasingkan oleh penjajah. Sebagai balasan atas loyalitas itu, Presiden Soekarno memberikan janji lisan, meski sering dikutip dalam forum adat dan politik untuk menjadikan Luwu sebagai daerah istimewa atau provinsi mandiri. Janji itu, yang disampaikan sekitar 1958 saat pertemuan langsung dengan Andi Djemma, kini menjadi hutang sejarah bangsa yang hingga akhir 2025 belum ditunaikan. Bagi Wija To Luwu—sebutan untuk masyarakat Tana Luwu, pembentukan provinsi bukan urusan birokratis semata, melainkan pemenuhan hak moral atas darah dan air mata yang ditumpahkan di fajar Republik.
Desember 2025 menjadi titik kritis bagi aspirasi ini. Luwu Raya saat ini mencakup empat wilayah: Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo. Menurut UU No. 23 Tahun 2014, syarat minimal provinsi baru adalah lima kabupaten/kota. Pemekaran Kabupaten Luwu Tengah from wilayah Walenrang-Lamasi menjadi prasyarat mutlak. Dukungan dari Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR), Kepala Daerah, DPRD setempat, dan tokoh masyarakat semakin masif, seperti pernyataan terbuka KKLR pada 16 Desember 2025 yang menegaskan perjuangan ini sebagai "ikhtiar menyatukan kembali masyarakat demi keadilan pembangunan". Namun, moratorium pemekaran daerah otonom baru yang masih berlaku hingga akhir 2025 berdasarkan kebijakan pemerintah pusat tetap menjadi penghalang utama. Pemerintahan Prabowo Subianto belum mencabutnya, meski grand design penataan daerah ditargetkan selesai tahun ini.
Secara ekonomi, Luwu Raya adalah penyumbang utama bagi Sulawesi Selatan. Tambang nikel di Luwu Timur, dikelola PT Vale Indonesia, menjadi motor ekspor terbesar provinsi, dengan kontribusi PAD dan DBH mencapai ratusan miliar rupiah per tahun sekitar sepertiga APBD Luwu Timur berasal dari Vale. Perkebunan sawit di Luwu Utara, potensi emas, serta agro-maritim melengkapi kekayaan ini. Wilayah seluas sepertiga Sulsel dengan populasi lebih dari 1,2 juta jiwa seharusnya menjadi pusat pertumbuhan baru di timur provinsi. Realitasnya, kontribusi fiskal besar justru membuat provinsi induk enggan melepas "sapi perah" ini, sementara infrastruktur multiyears triliunan lebih banyak dialirkan ke wilayah lain, meninggalkan Luwu Raya dalam ketimpangan.
Tantangan lingkungan dari pertambangan nikel dan sawit memang nyata, ekspansi industri mengancam hutan hujan di Latimojong dan Danau Towuti. Tapi ini bukan alasan menolak kemandirian. Justru status provinsi akan memungkinkan pengelolaan sumber daya lebih langsung, transparan, dan berorientasi kesejahteraan lokal, dengan pengawasan ketat terhadap praktik berkelanjutan.
Pemerintah pusat di bawah Prabowo memiliki momentum bersejarah untuk mencabut moratorium secara selektif bagi kasus berbasis patriotisme seperti Luwu Raya. Sudah saatnya negara melunasi hutangnya kepada Luwu. Pembentukan Provinsi Luwu Raya bukan hanya mempercepat pemerataan pembangunan, pelayanan publik, dan pengentasan kemiskinan, tapi juga menjadi monumen penghargaan atas semangat kemerdekaan yang tak pudar dari rakyat Tana Luwu.
Perjuangan masyarakat Tana Luwu hingga kini dilakukan secara damai dan demokratis, seperti melalui peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu yang menekankan sinergi antarpemangku kepentingan. Narasi "perlawanan" di sini bukan kekerasan, melainkan keteguhan menagih janji negara sambil mendorong pemerataan pembangunan.
Seperti pesan Sukarno yang abadi: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Membiarkan janji kepada Andi Djemma menguap berarti mengkhianati fondasi Republik itu sendiri. Perjuangan damai masyarakat Luwu Raya sepanjang dekade ini harus dijawab dengan aksi nyata: cabut moratorium, wujudkan Luwu Tengah, dan bentuk Provinsi Luwu Raya. Ini bukan aspirasi biasa ini hak moral yang tak bisa lagi ditunda. (****)

Posting Komentar untuk "Hutang Sejarah Tak Kunjung Terbayar: Jas Merah untuk Andi Djemma"