OPINI! Ketika Rumah Sakit Lupa Kemanusiaan

8.189 Views

 

Penulis, Adri Fadli.
Oleh: Adri Fadli (Ketua LMND Sulsel)
Malpraktik medis kembali menjadi sorotan publik. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah kasus yang berujung pada hilangnya nyawa pasien terus bermunculan, mulai dari salah dosis obat anestesi, kesalahan interpretasi hasil pemeriksaan pencitraan, hingga tindakan operasi yang tidak sesuai indikasi medis. Tragedi-tragedi ini bukan sekadar catatan medis yang buruk, melainkan cermin dari persoalan sistemik yang telah lama menggerogoti dunia kesehatan kita.

Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) semakin mengkhawatirkan. Pada periode 2023-2025, terdapat 51 kasus dugaan malpraktik yang dilaporkan ke Kemenkes, terdiri dari 21 aduan langsung dan 30 laporan dari media massa/sosial. Dari jumlah tersebut, 24 kasus mengakibatkan kematian, dengan 10 kasus infeksi/komplikasi, 8 kasus kesalahan prosedur medis, dan 7 kasus cacat/luka berat. Pelanggaran yang paling sering terjadi adalah pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP), kurangnya keterampilan tenaga medis, serta buruknya komunikasi dengan pasien. Angka-angka ini bukan sekadar statistik dingin; ia adalah kisah nyata dari keluarga yang kehilangan, pasien yang cacat seumur hidup, dan kepercayaan masyarakat yang retak.

Fenomena ini tidak terbatas pada kota-kota besar. Di daerah seperti Kota Palopo, Sulawesi Selatan, kasus dugaan malpraktik juga mencuat dan menambah daftar panjang korban. Baru-baru ini, seorang lansia bernama Basri Sakuta (73) mengalami luka melepuh parah seperti terbakar setelah menerima obat anti-nyeri di RS At Medika. Sebelumnya, seorang remaja bernama Jimmy (21) menemukan potongan mata busur di bekas luka operasinya di RSUD Palemmai Tandi. Kejadian-kejadian ini menunjukkan betapa rentannya akses kesehatan di daerah, di mana fasilitas terbatas sering kali memperburuk risiko kelalaian.

Di balik angka-angka itu, ada duka yang tak terukur. Ada keluarga yang harus membuktikan sendiri kelalaian yang merenggut nyawa orang tercinta, padahal dalam hukum Indonesia beban pembuktian masih sepenuhnya ditanggung korban. Pasien atau ahli waris harus membuktikan empat unsur sekaligus: kesalahan, kerugian, hubungan sebab-akibat, dan pelanggaran kewajiban hukum. Sementara itu, rekam medis sering tidak lengkap, saksi ahli sulit independen, dan tim hukum rumah sakit jauh lebih bersenjata lengkap.

Perbedaan pendekatan hukum pun menambah kegetiran. Jalur perdata hanya memberi kompensasi finansial, sering kali berakhir dengan “uang damai” yang tak sebanding. Jalur pidana, yang dapat mengirim pelaku ke penjara berdasarkan Pasal 360 KUHP atau Pasal 304 UU Kesehatan, mensyaratkan pembuktian kesalahan berat yang nyaris mustahil. Akibatnya, banyak keluarga menyerah di tengah jalan.

Dualisme penyelesaian semakin memperkeruh suasana. Di satu sisi ada jalur hukum formal yang terbuka untuk umum, di sisi lain ada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang tertutup dan cenderung melindungi anggota profesi. Putusan majelis ini kerap dijadikan alasan polisi menghentikan penyidikan dengan dalih “sudah diselesaikan secara internal”. Akuntabilitas pun lenyap di antara dua jalur yang saling tumpang tindih.

Inti masalahnya terletak pada ketidakseimbangan antara sisi kemanusiaan dan sisi industri rumah sakit. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan secara tegas menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus mengutamakan keselamatan pasien dan tidak boleh mengorbankan tujuan kemanusiaan demi kepentingan bisnis. Pasal 177 ayat (2) bahkan menegaskan bahwa aspek industri dari rumah sakit tidak boleh mengesampingkan tujuan utama pelayanan kesehatan, yaitu melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 

Namun, realitas di lapangan sering kali berbanding terbalik. Target pendapatan, tekanan investor, dan persaingan antar rumah sakit kerap mendorong praktik over-treatment, pemaksaan tindakan invasif yang tidak selalu diperlukan, serta pengabaian protokol demi efisiensi waktu. Ketika rumah sakit lebih mirip korporasi daripada institusi kemanusiaan, maka pasien menjadi “komoditas” dan keselamatan mereka berada di urutan kedua.

Kita tidak dapat menutup mata: sebagian besar malpraktik terjadi bukan karena niat jahat semata, melainkan akibat kelelahan ekstrem tenaga medis, kurangnya pengawasan internal, dan tekanan ekonomi yang mendorong praktik over-diagnosis maupun over-treatment. Namun, kita juga tidak boleh menafikan adanya pelanggaran etika yang disengaja seperti penerimaan insentif terselubung dari industri farmasi atau alat kesehatan yang jelas-jelas melanggar prinsip kemanusiaan tersebut.

Sudah waktunya negara menegakkan kembali keseimbangan yang telah digariskan undang-undang. Regulasi yang ada sebenarnya sudah cukup kuat; yang kurang adalah penegakan hukum yang tegas dan pengawasan yang independen. Transparansi rekam medis, pemisahan ketat antara kepentingan komersial dan pelayanan kesehatan, serta sanksi berat bagi pelaku malpraktik yang terbukti mengutamakan keuntungan di atas nyawa manusia, harus segera diwujudkan.

Keselamatan pasien bukanlah sekadar slogan, melainkan hak asasi yang tidak dapat ditawar. Rumah sakit boleh menjalankan roda bisnis, tetapi hanya sejauh itu tidak mengorbankan martabat kemanusiaan. Jika keseimbangan ini terus dibiarkan terganggu, maka kita berisiko mengubah rumah sakit dari tempat penyembuhan menjadi sumber duka baru.

Nyawa manusia terlalu mahal untuk dijadikan taruhan kepentingan sempit. Saatnya semua pihak pemerintah, organisasi profesi, pengelola rumah sakit, dan masyarakat bersama mengembalikan rumah sakit pada khitahnya: tempat penyembuhan, bukan ladang bisnis semata. Itulah harga yang harus kita bayar untuk tetap memiliki sistem kesehatan yang bermartabat. (****)

Posting Komentar untuk "OPINI! Ketika Rumah Sakit Lupa Kemanusiaan"