![]() |
Foto Ilustrasi. |
DI tengah dinamika pengelolaan keuangan daerah yang semakin kompleks, Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo kembali menjadi sorotan. Tekanan dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Provinsi Sulawesi Selatan untuk segera melunasi utang belanja yang menumpuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 bukanlah hal baru. Rapat evaluasi APBD Perubahan pada 29 September lalu di Kantor Gubernur Sulsel menegaskan urgensi ini, di mana Kepala Bidang Perencanaan Anggaran Daerah BKAD Sulsel, Sakura, S.Sos., MM., menyoroti dua poin krusial: penyelesaian utang belanja warisan dan penataan anggaran yang lebih akuntabel. Namun, di balik desakan ini, muncul pertanyaan mendasar: mengapa Pemprov Sulsel sendiri masih menunda pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) yang menjadi hak daerah?
Utang belanja Pemkot Palopo, yang diperkirakan mencapai Rp250 miliar dari pemerintahan sebelumnya, memang menjadi beban berat. Warisan ini meninggalkan proyek mangkrak seperti Stadion Lagaligo dan Gedung Kesenian, yang tidak hanya menyia-nyiakan dana publik tetapi juga menghambat kemajuan kota. Pemkot telah menunjukkan komitmen dengan mengalokasikan Rp30 miliar pada APBD Pokok 2025, di mana Rp29,8 miliar sudah dibayarkan, dan menambah Rp1,2 miliar pada APBD Perubahan.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai upaya membersihkan neraca keuangan daerah. Namun, tekanan dari provinsi terasa kurang seimbang ketika DBH sumber pendapatan vital bagi Palopo masih macet.
Keterlambatan DBH dari Pemprov Sulsel bukan sekadar masalah administratif, melainkan ancaman bagi kelancaran program pembangunan. Berdasarkan data Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Palopo, mengungkapkan bahwa sisa DBH tahun sebelumnya senilai Rp24 miliar belum diterima. Untuk 2025, dari total Rp64 miliar yang dijanjikan, baru Rp5 miliar plus Rp2,8 miliar dari pajak rokok triwulan IV 2024 yang mengalir ke kas daerah.
Dampaknya langsung terasa: arus kas terganggu, program belanja publik terhambat, dan akhirnya masyarakat yang dirugikan. Seorang warga Palopo, Rival, dengan tepat menyuarakan kritik: "Seharusnya Pemprov introspeksi dan segera menyelesaikan tunggakan DBH. Jangan hanya menekan tanpa memberi solusi." Pandangan ini mencerminkan frustrasi kolektif yang sering muncul dalam hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan.
Situasi ini menggambarkan tantangan klasik dalam desentralisasi fiskal Indonesia. Pemprov Sulsel, sebagai pengawas, memang bertugas memastikan disiplin anggaran daerah. Namun, ketepatan waktu dalam menyalurkan DBH adalah kewajiban moral dan hukum yang tak boleh diabaikan. Keterlambatan ini bukan hanya mengganggu likuiditas, tapi juga berpotensi memicu polemik lebih luas, seperti penolakan DPRD Palopo terhadap APBD Perubahan karena Pemkot dinilai abaikan pembayaran utang.
Keterlambatan DBH di Luwu Raya
Keterlambatan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Pemprov Sulsel berdampak besar pada Luwu Raya (Palopo, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur), penyumbang utama pendapatan daerah melalui pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Tunggakan DBH sebesar Rp418 miliar sejak 2020, termasuk Rp22,9 miliar untuk Luwu (2024) dan Rp54,8 miliar untuk Luwu Timur (2023), masih berlanjut hingga 2025. Keterlambatan ini mengganggu stabilitas anggaran, menunda proyek pembangunan, dan memperburuk infrastruktur, dengan 47,6% jalan di Sulsel rusak, terutama di Luwu Raya. Pemangkasan DAU dan DAK Rp112 miliar pada 2025 semakin menghambat proyek jalan dan jembatan vital.
Solidaritas Luwu Raya
Luwu Raya memiliki hubungan erat antar-daerah: Palopo sebagai pusat perdagangan, Luwu lumbung pertanian, Luwu Utara unggul di pertambangan, dan Luwu Timur di pariwisata serta agroindustri. Sinergi ini terlihat dari pasar Palopo yang mendukung Luwu dan Luwu Timur, serta pelabuhan Palopo untuk distribusi hasil tambang Luwu Utara. Namun, keterlambatan DBH mengancam solidaritas ini, menghambat proyek bersama seperti perbaikan jalan antar-kabupaten dan pasar regional. Ketua LMND Sulsel, Adri Fadli menyoroti minimnya alokasi untuk 10 ruas jalan mendesak di Luwu Raya pada 2025, melemahkan mobilitas, ekonomi, dan daya tarik investasi.
Di sisi lain, Pemkot Palopo harus lebih proaktif dalam transparansi, misalnya dengan audit independen untuk memastikan alokasi utang benar-benar efektif dan tidak menimbulkan beban baru.
Pada akhirnya, Pemkot Palopo berada di persimpangan krusial: melunasi utang sambil menunggu DBH yang tertunda sebelum akhir 2025. Koordinasi erat antara Pemkot dan Pemprov Sulsel menjadi kunci, bukan sekadar rapat evaluasi tapi dialog konkret untuk solusi bersama. Masyarakat Palopo berhak atas pengelolaan keuangan yang adil dan berkelanjutan, di mana tekanan fiskal disertai dukungan nyata. Jika DBH terus macet, bukan hanya APBD yang terganggu, tapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Saatnya kedua belah pihak duduk bersama, bukan saling menekan, demi pembangunan yang benar-benar berpihak pada rakyat. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tags:
Peristiwa