ads

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

PERUMDAM WAEMAMI LUWU TIMUR

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

UCAPAN HUT RI KE-80 PEMKAB MOROWALI

Headline

Metro

Hukum

Daerah

Politik

 

Konflik antara DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2025 bukan sekadar persoalan teknis anggaran, melainkan cerminan dinamika politik yang kompleks. DPRD menyoroti sejumlah kejanggalan, seperti penghapusan pos pembayaran utang sebesar Rp30 miliar dan kemunculan program yang tidak dibahas di forum Badan Anggaran (Banggar). Pemkot membantah, menegaskan bahwa semua langkah telah sesuai prosedur. Namun, di balik sorotan ini, Pokok Pikiran (Pokir) DPRD, yang diduga menjadi alat tekanan politik dan sarat muatan utang politik, turut memperkeruh situasi. Polemik ini seharusnya menjadi momentum untuk membangun tata kelola anggaran yang transparan demi kepentingan masyarakat.

Inti sengketa terletak pada penghapusan pos pembayaran utang sebesar Rp30 miliar, yang direkomendasikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta tuduhan perubahan sepihak nomenklatur anggaran oleh Pemkot. Berdasarkan data, Rp29,8 miliar dari utang tersebut telah terbayarkan, tetapi penambahan Rp1,2 miliar pada APBD Perubahan untuk membayar utang belanja melalui Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) memicu tanya? Dana tersebut, yang sebaiknya digunakan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) untuk merencanakan desain seperti perbaikan Jembatan Akhmad Razak, pemeliharaan jalan, dan penanganan banjir, dialihkan lagi untuk pembayaran utang yang telah dianggarkan pada APBD Pokok sebesar Rp 30 miliar. Sementara proyek mangkrak revitalisasi Stadion Lagaligo dan Gedung Kesenian tetap menjadi monumen bisu meski mendapat suntikan pembayaran. Akibatnya, anggaran PUPR pada APBD 2025 hanya sebesar Rp1,2 miliar untuk memelihara lebih dari 380 kilometer jalan, dengan alokasi untuk penanganan banjir hampir nihil. Padahal, pada 2023, PUPR mendapat alokasi Rp54 miliar, yang merosot menjadi Rp12 miliar pada 2024 karena terserap untuk pembayaran utang.

Masih ditempat yang sama, judul berbeda, anggaran lebih dari Rp4 miliar diinisiasi Pokir DPRD untuk PUPR, yang tetap dipertahankan, tak ada perubahan, menunjukkan komitmen terhadap pembangunan infrastruktur. Namun, Pokir ini diduga menjadi pemicu ketegangan. Kekhawatiran DPRD bahwa program prioritas mereka akan tersisih memicu tuduhan keras, seperti adanya “program siluman” atau pelanggaran prosedur. Lebih jauh, Pokir sering kali menjadi alat tekanan politik, bahkan sarana untuk melunasi utang politik guna memperkuat basis konstituen, bukan semata untuk memenuhi kebutuhan daerah. Dinamika ini mengaburkan fungsi pengawasan DPRD, sehingga sorotan mereka terkesan lebih sebagai upaya mempertahankan pengaruh ketimbang pengawasan murni.

Masyarakat Palopo menjadi pihak yang paling dirugikan. “Kami membayar pajak, tetapi jalan dan jembatan rusak,” ujar Maya Sulastri, seorang karyawan swasta. “Jembatan Akhmad Razak bukan lagi sarana penyeberangan, melainkan ancaman,” timpal Ramli, seorang sopir. Jembatan Akhmad Razak dan Carede, yang hampir ambruk, menjadi bukti nyata prioritas yang keliru. Infrastruktur, sebagai tulang punggung konektivitas dan ekonomi, seharusnya menjadi fokus utama, bukan terpinggirkan oleh pelunasan utang atau dinamika politik seputar Pokir. Pengalihan dana Rp1,2 miliar untuk utang belanja, yang seharusnya untuk perencanaan infrastruktur, semakin memperparah keadaan.

Pemerintahan baru di bawah Hj Naili Trisal dan Dr Akhmad Syarifuddin menghadapi warisan berat: utang daerah sekitar Rp200 miliar, proyek mangkrak, dan sorotan hukum yang kian tajam. Langkah menggandeng BPK dan BPKP untuk mengaudit keuangan daerah merupakan sinyal positif menuju tata kelola yang lebih baik. Namun, tanpa dialog terbuka dengan DPRD, upaya ini berisiko menjadi formalitas semata. Polemik APBD 2025 seharusnya menjadi titik balik untuk mengesampingkan kepentingan politik, termasuk penggunaan Pokir sebagai alat tekanan.

Palopo berhak atas pembangunan yang nyata. Penambahan anggaran sebesar Rp1,2 miliar untuk pembayaran utang belanja di PUPR sangat dipaksakan pada APBD Perubahan, tidak menjawab kebutuhan mendesak seperti penanganan banjir, perbaikan jalan, dan jembatan yang aman. DPRD dan Pemkot perlu berkolaborasi, meninggalkan praktik politik transaksional, demi anggaran yang berpihak pada rakyat. Transparansi dalam pengelolaan keuangan, termasuk soal Pokir, menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik. Palopo menanti bukti nyata, bukan polemik yang berlarut. (MUBARAK DJABAL TIRA)

About koranakselerasi

OnlineAkselerasi.com juga beredar dalam versi cetak (Koran Akselerasi) yang beredar di wilayah Luwu Raya dan Toraja. Semoga, kehadiran media ini, dapat menambah khasana bacaan masyarakat yang lebih edukatif dan mendidik.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top