![]() |
Akhmad Syarifuddin Daud (Ome) mengikuti sidang perdana yang mendudukkan dirinya sebagai terdakwa dalam kasus tindak pidana Pemilu di PN Palopo. |
Sidang perdana tersebut, dipimpin Arief Winarto SH MH selaku ketua majelis hakim, didampingi dua hakim anggota, Erwino SH MH, dan Heri Kusmanto SH MH, dengan agenda pembacaan catatan jaksa penuntut umum (JPU)/surat dakwaan, dilanjutkan eksepsi, tanggapan penuntut umum, putusan sela, dan pemeriksaan saksi-saksi.
Ome yang disangkakan melakukan ujaran kebencian, didampingi empat kuasa hukumnya, yakni Harla Ratda SH MH, Andi Wawan SH, Umar Laila SH MH, dan Apman Mustafa SH. Bertindak sebagai JPU, Ikram M Saleh SH MH, dan panitera pengganti, Rida SH.
Sejumlah saksi yang dihadirkan, antara lain Sudirman Djabir selaku kuasa hukum HM Judas Amir, Agus Hanafi, Herman Saputra, Andis Salim dari Panwascam, calon walikota lainnya, HM Judas Amir, komisioner KPU, Faisal S.Sos MSi, anggota DPRD, Abdul Rauf Rahim, saksi ahli, David Manoputu, dan saksi dari kubu Ome, Suherman Pammineri.
Setelah pembacaan catatan JPU, para saksi diambil sumpahnya kemudian dilanjutkan mendengarkan rekaman video orasi Akhmad Syarifuddin Daud pada 21 Februari 2018, di Jln Cakalang, Kelurahan Surutanga, Kecamatan Wara Timur.
Saksi pertama, Sudirman Djawir dalam keterangannya menyebut orasi Ome itu dianggap sebagai upaya penghasutan atas hal yang tidak benar. Berikutnya, Agus Hanafi dalam kesaksiannya merasa kesal setelah mendengar orasi Ome. Hal yang sama diungkapkan Herman Saputra, ketika mendengar orasi Ome, dirinya pun merasa marah.
Hingga berita ini diturunkan, sidang pemeriksaan saksi ditunda hingga pukul 14.00 Wita. Sesudah sidang perdana, Ome kepada awak media mengaku apa yang ia katakan dalam orasinya benar dan sesuai fakta. Lebih jauh, ia menuding ada upaya-upaya melakukan kriminalisasi terhadap dirinya.
Sekedar diketahui, Ome dijerat pasal 187 ayat 2 junto pasal 69 huruf (c) UU RI No: 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU No: 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No: 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. Ancaman hukumannya paling singkat tiga bulan, paling lama 18 bulan atau denda minimal Rp600 ribu dan paling banyak Rp6 juta. Sesuai jadwal, putusan kasus tersebut akan dibacakan, 9 April 2018 mendatang. (ARI)
Tidak ada komentar: