OPINI! Sipakatau untuk Semua Akal Budi

8.189 Views

 

Oleh Syarifuddin Jalal (Praktisi Hukum dan Kolumnis)
Di banyak masyarakat tradisional Indonesia, termasuk di kalangan Bugis-Makassar, istilah seperti 'beleng-beleng' sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dianggap lamban, aneh, atau kurang cerdas. Kata ini meluncur begitu saja dalam percakapan sehari-hari, sering disertai tawa atau nada merendahkan, seolah tak membawa konsekuensi berat.

Namun, di balik kelengkapan itu, tersembunyi kekerasan sosial yang pelan tapi nyata: stigma yang mereduksi martabat manusia.

Istilah 'beleng-beleng' kerap dilekatkan tanpa dasar pengetahuan medis atau pemahaman mendalam. Padahal, perilaku yang tampak 'aneh' tersebut bisa jadi gejala dari kondisi neurologis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Autism Spectrum Disorder (ASD), atau variasi lain dalam keragaman neurologis (neurodiversity). Konsep neurodiversity mengajarkan bahwa otak manusia tidak seragam; ada spektrum cara berpikir dan memproses informasi yang beragam, bukan penyimpangan.

Ketika masyarakat kekurangan pemahaman tentang ini, muncul ”kotak sampah linguistik”: satu kata untuk melabeli segala yang dianggap tidak normal. Dari situ lahir kepasrahan: 'simulajaji', sejak lahir sudah begitu. Stigma pun bekerja secara sistematis.

Pertama, dehumanisasi. Individu yang dilabeli tak lagi dilihat sebagai manusia utuh dengan perasaan dan potensi. Ia menjadi objek ejekan atau kasihan yang merendahkan, sehingga dukungan lingkungan kunci bagi pertumbuhan neurodivergen—terputus. Keluarga malu, masyarakat abai, dan potensi individu layu.

Kedua, self-fulfilling prophecy. Perlakuan terus-menerus sebagai 'tak mampu' membuat individu internalisasi label itu, bukan karena kondisi medisnya, melainkan karena lingkungan telah 'menguburnya' lebih dulu.

Tragedi ini bukan baru. Pada 1950-an di Amerika, autisme sering disalahdiagnosis sebagai skizofrenia anak, sehingga banyak anak diinstitusionalisasi. Eustacia Cutler, ibu Temple Grandin, menolak nasihat itu. Ia mencari pendidikan dan terapi tepat, meski menghadapi tekanan keluarga dan medis. Kini, Temple Grandin adalah ilmuwan berpengaruh dan advokat autisme, bukti bahwa dukungan, bukan stigma, membuka potensi.

Di Indonesia, stigma serupa masih menghambat inklusi. Penyandang disabilitas sering menghadapi diskriminasi, dari pendidikan hingga lapangan kerja. Padahal, dalam falsafah Bugis-Makassar, pappaseng leluhur mewajibkan sipakatau (memanusiakan manusia), sipakalebbi (saling memuliakan), dan sipakainge (saling mengingatkan).

Jika 'beleng-beleng' masih kita gunakan tanpa rasa bersalah, bukan mereka yang kehilangan akal, melainkan kita yang kehilangan kearifan. Kemanusiaan menuntut pemahaman, bukan penghakiman cepat. Dengan begitu, seorang ibu bisa mendampingi anak neurodivergennya dengan bangga, dan seorang ayah berdiri teguh melawan stigma. Siri’ sejati adalah menjaga martabat semua manusia. (****)

Posting Komentar untuk "OPINI! Sipakatau untuk Semua Akal Budi"