![]() |
Sriwati. |
*) Penulis Adalah Alumni Australian Awards Fellowship asal Luwu Utara
SEJAK menjadi konsep dan gerakan universal, pendidikan inklusif telah menjadi rujukan baru bagi pelaksanaan pendidikan di berbagai negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi deklarasi pendidikan inklusif yang bertujuan memfasilitasi kebutuhan pendidikan bagi semua peserta didik, termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Namun, dalam pelaksanannya masih muncul banyak permasalahan di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, terutama berkaitan dengan manajemen pelaksanaan dan tenaga pendidik. Studi ini bertujuan untuk menelusuri berbagai permasalahan yang muncul dalam penyelengaraan pendidikan inklusif, selanjutnya mencoba menawarkan beberapa alternatif solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Studi ini menggunakan metode literature review dan deskriptif kualitatif untuk mengungkap fenomena penerapan pendidikan inklusif di Indonedia. Hasil kajian menunjukkan, terdapat berbagai permasalahan yang ditemui terkait kesiapan manajemen sekolah dan kurangnnya kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan pendidikan inklusif. Persoalan tersebut berjalin berkelindan dengan kurangnya partisipasi publik dalammendukung pendidikan inklusif.
Sebagai akibat kungkungan persepsi pola pendidikan lama. Sebagai out put, studi ini merekomendasikan untuk melakukan sosialisasi dan gerakan massif yang menanamkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif sebagai bagian dari gerakan persamaan hak dan kesetaraan bagi semua manusia.
Seiring pesatnya perkembangan isu demokrasi yang mengedepankan kesetaraan (equity) dan persamaan hak (equality of right) bagi semua manusia, telah memmengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang terpapar isu global tersebut adalah bidang pendidikan yang mulai mengadopsi nilai-nilai kesetaraan dan persamaan dalam pelaksanaannya. Hal ini tidak lain demi untuk memberikan peluang yang sama bagi semua orang untuk meningkatkan dan mewujudkan potensi yang ada dalam diri masing-masing melalui pendidikan. Pendidikan sebagai hak untuk semua orang (education for all) telah tercantum dalam berbagai instrumen pada level internasional seperti Deklarasi Universal 1948 (Declaration of Human Rights) dan dalam instrumen-instrumen yang lebih rinci seperti deklarasi Jomtien dan Konvensi PBB tentang Hak Anak.
Namun momentum impresif yang menjadi acuan pendidikan inklusif terjadi saat The Salamanca Statements Framework for Action on Special Need Education(1994) di Spanyol. Sejak itulah pendidikan inklusif menjadi gerakan universal yang diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia. Berbagai instrumen tersebut hendak memberikan jaminan dan proteksi bagi semua lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok tertentu, termasuk anak penyandang cacat, dan kelompok-kelompok yang sangat rentan untuk dipinggirkan memiliki hak yang sama dalam memeroleh pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan dalam sistem pendidikan umum dan tidak didiskriminasikan adalah hak segala bangsa tanpa terkecuali.
Secara yuridis formal, kebijakan pendidikan di Indonesia sebenarnya telah sejalan dengan berbagai isu dan instrument internasional. Hal ini tampak dalam konstitusi dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa: "Tiap warga negara berhak mendapat pengajaran". UU Nomor 4 tahun 1997 pasal 5 menyebutkan "Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan dan penghidupan". Namun, realitas pelaksanaannya dalam lingkup pendidikan justru masih jauh dari tipe ideal pendidikan inklusif. Bahkan terkadang sebagian besar proses pendidikan masih mendistorsi prinsip-prinsip inklusivitas yang semestinya. Penyelenggara pendidikan masih terkungkung dalam paradigma lama yang melihat anak berkebutuhan khusus sebagai beban bagi sekolah reguler.
Persepsi seperti ini menimbulkan kondisi yang membuat belum semua anak usia sekolah, terutama anak berkebutuhan khusus, dapat ditampung di semua sekolah pada umumnya. Selama ini anak berkebutuhan khusus (ABK) belum mendapat pelayanan dan perhatian secara proporsional dan profesional melalui sekolah umum atau reguler. Mereka cenderung masih dilayani di sekolah-sekolah khusus (SLB).
Kenyataan seperti di atas menjadi tantangan tersendiri dalam upaya meningkatkan taraf pendidikan anak. Di samping terkait dengan persoalan manajemen pendidikan dan keterbatasan personil. Lebih dari itu, model pendidikan tersebut mengidap persoalan diskriminasi yang sangat akut. Hal ini terjadi ketika masih terdapat sekolah yang tidak bersedia menerima anak berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu melayaninya. Atau mungkin dapat diterima di sekolah terdekat, tetapi karena ketiadaan guru pembimbing khusus, sehingga mereka tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Tentu saja, persoalan tersebut berdampak pada sebagian anak-anak berkebutuhan khusus karena bukan saja tidak dapat menikmati fasilsitas pendidikan, tetapi juga hak-hak dasarnya untuk menikmati pendidikan terabaikan. Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan teren cana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdas an, akhlaq mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Terminologi inklusif lawan kata inklusi adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada frustasi dan kebencian. Dengan demikian pendidikan inklusif adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Dalam konteks inklusif, pendidikan tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengkuti program pendidikan, namun melihat para guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu.
Di tengah derasnya arus tuntutan kesetaran dan persamaan hak di berbabagi aspek kehidupan tidak terhindarkan ikut menerpa bidang pendidikan. Dalam kondisi perkembangan yang pesat seperti saat ini, maka pendidikan harus mampu mengubah paradigma berpikir dan pelaksanaannya agar bisa bersinergi dengan tuntutan jaman. Perubahan paradigma pendidikan menuju pola pendidikan inklusif menjadi suatu keniscayaan sejarah yang tak mungkin dielakan lagi. Program pendidikan inklusif merupakan bagian dari gerakan global yang dicanangkan oleh beberapa negara di dunia terkait dengan isu pendidikan untuk semua. Gerakan ini berangkat dari beberapa instrument internasional tentang ha-hak asasi manusia yang terkait dengan pendidikan anak. Instrument tersebut berawal dari dokumen Deklaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia) 1948 yang menegaskan bahwa “Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. Selanjutnya diperkuat dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989, suatu dokumen yang yang telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia), yang menyatakan prinsip-prinsip dasar pendidikan anak. Konvensi tersebut menekankan beberapa ketentuan tentang pendidikan dengan prinsip non diskriminasi yang secara spesifik terkait anak penyandang cacat, kepentingan terbaik anak, dan hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan.
Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Di samping itu, pendidikan inklusif didasarkan pada hak asasi, model sosial, dan sistem yang disesuaikan pada anak dan bukan anak yang menyesuaikan pada sistem. Selanjutnya, pendidikan inklusif dapat dipandang sebagai pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman, dan diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia. Sebelum mencuatnya model pendidikan inklusif sudah berlangsung eksprerimentasi model-model pendidikan. Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Di Indonesia pendidikan khusus ini dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus.
Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelompok anak tertentu memiliki kelainan, sehingga harus terpisah dengan ‘kebutuhan pendidikan khusus’ dan seringkali disebut ‘anak berkebutuhan khusus’. (****)
Kita sebagai guru di Indonesia harus selalu berpegang pada Undang-undang pemerataan pendidikan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa membeda2kan....Tetap maju Pendidikan Inklusi di Indonesia...Siapapun itu,,,berhak berkarya dan menjadi manusia yang dimanusiakan.
BalasHapusBenar pak.education for all...bukan hanya untuk orang tertentu.semoga Semua pendidik dan seluruh lapisan masyarakat memahami..
Hapus