OPINI! Warisan Utang dan Mimpi Palopo Baru Lima Bulan Naili-Ome: Apresiasi dan Kritik Publik

8.189 Views

 

Wali Kota Hj Naili Trisal saat menghadiri paripurna di DPRD Palopo.
Oleh: Mubarak Djabal Tira 
Pelantikan Hj Naili Trisal dan Dr Akhmad Syarifuddin Daud sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo pada 4 Agustus 2025 menandai babak baru bagi kota yang kaya akan sejarah budaya di Sulawesi Selatan itu. Kemenangan mereka melalui Pemungutan Suara Ulang (PSU) dengan 50,53 persen suara memberikan legitimasi kuat, sekaligus mandat untuk mewujudkan visi "Palopo Baru Menuju Kota Jasa Global". 

Di tengah euforia awal, pemerintahan ini menghadapi ujian berat: warisan utang daerah ratusan miliar rupiah dari periode sebelumnya, turbulensi politik dengan legislatif, proyek mangkrak, serta tuntutan reformasi birokrasi yang mendalam.

Legitimasi politik pasangan Naili-Ome tak terbantahkan. Dukungan koalisi partai besar seperti Gerindra dan Demokrat, ditambah pengaruh figur Trisal Tahir sebagai arsitek visi awal, menjadi modal utama. Status Naili sebagai wali kota perempuan pertama di Palopo pun membawa simbol inklusivitas, terutama bagi pemilih perempuan dan milenial. Namun, kerapuhan hubungan eksekutif-legislatif mencerminkan dinamika politik yang kompleks. Di sini, kemampuan lobi politik Naili akan diuji, termasuk manuver mendekati partai lain seperti Golkar, PDI-Perjuangan dan Nasdem. 
Secara ekonomi dan sosial, langkah awal pemerintahan ini patut diapresiasi. Pemantauan stok pangan untuk menekan inflasi, pencairan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sebesar 4,8 Miliar pada akhir Desember 2025, serta komitmen Universal Health Coverage dengan alokasi Rp 26 miliar untuk 2026 menunjukkan prioritas pada stabilitas dan kesejahteraan. Program inovatif seperti Gerakan Ayah Ambil Rapor Anak (GATI) mencerminkan pendekatan humanis dalam pendidikan keluarga.

Perekonomian Kota Palopo saat ini masih bergantung pada sektor perdagangan besar-eceran dan reparasi kendaraan (kontribusi sekitar 24–26 persen PDRB), diikuti pertanian, konstruksi, serta jasa keuangan. Pada 2024, PDRB mencapai Rp11,08 triliun dengan pertumbuhan sekitar 4,4 persen, meski laju pertumbuhan perdagangan menurun pasca-pandemi dan menghadapi risiko "kota mati" akibat pertumbuhan daerah sekitar seperti Luwu Timur. 

Target Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2025 ambisius mencapai lebih dari Rp1 triliun dalam APBD Perubahan (dari target awal Rp270 miliar), namun dibayangi warisan utang daerah sekitar Rp250 miliar (terutama dari sektor infrastruktur), yang memicu efisiensi anggaran ketat (baca; SPPD dan makan minum) di APBD Perubahan. Inflasi terkendali di bawah 3 persen (YoY sekitar 2,75 persen pada September 2025), berkat langkah proaktif seperti pemantauan gudang Bulog dan gerakan pangan murah, meski tekanan harga pangan tetap menjadi tantangan nasional.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Palopo terbaru (tahun 2024) mencapai 81,25, menempatkannya pada kategori "sangat tinggi" dan termasuk salah satu yang tertinggi di Sulawesi Selatan setelah Makassar (85,23) dan Parepare (80,97). Capaian ini mencerminkan kemajuan di bidang kesehatan, pendidikan, dan standar hidup layak, meski masih perlu ditingkatkan untuk mendukung transformasi menjadi kota jasa global.

Secara geografis dan historis, Palopo yang berjuluk "Kota Idaman" (Indah, Damai, dan Nyaman) berperan sebagai kota penyangga strategis bagi kabupaten tetangga seperti Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Tana Toraja, dan Toraja Utara. Terletak di jalur Trans-Sulawesi, kota ini historically menjadi pusat perdagangan, jasa, dan distribusi bagi wilayah Luwu Raya, menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, serta akses transportasi yang mendukung mobilitas masyarakat dari daerah pegunungan dan pedalaman. 

Potensi pariwisata Palopo semakin menonjol, dengan atraksi alam seperti Air Terjun Latuppa, Bukit Kambo, Pantai Labombo (pantai berpasir putih dengan tarif masuk terjangkau Rp3.000 per orang setelah dikelola langsung Pemkot sejak 2025), Taman Wisata Alam Nanggala III, serta situs budaya warisan Kerajaan Luwu, kerajaan tertua di Sulawesi yang menjadi pelopor masuknya Islam di wilayah ini. 

Objek ikonik seperti Istana Kedatuan Luwu (Museum Batara Guru), Masjid Jami Tua Palopo (masjid tertua di Sulsel), Menara Payung Mall (pusat kuliner dan mal yang baru diresmikan November 2025), dan makam-makam bersejarah menawarkan wisata budaya yang kaya, sementara keindahan alam pegunungan dan pantai mendukung ekowisata. Integrasi ini selaras dengan visi kota jasa global, di mana Palopo dapat menjadi gerbang wisata menuju Toraja yang terkenal. Infrastruktur penunjang seperti Sirkuit Ratona Motor Sport (arena road race permanen Rp49 miliar yang aktif gelar event nasional) turut mendongkrak potensi olahraga dan ekonomi. 

Di masa lalu, beberapa daerah seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Takalar, serta PDAM dari Toraja Utara, Sidrap dan terbaru Konawe Utara melakukan studi tiru ke Palopo terkait pengelolaan TPP, sampah, dan air minum, infrastruktur Publik menunjukkan pengakuan atas praktik baik di sektor tertentu. Namun, warisan proyek mangkrak seperti revitalisasi Stadion La Galigo dan Gedung Kesenian menjadi tantangan untuk dihidupkan kembali.

Reformasi birokrasi menjadi sorotan utama, sejalan dengan janji kampanye Naili-Ome. Dalam 25 program unggulan, mereka menjanjikan pembangunan Zona Integritas untuk wilayah bebas korupsi serta birokrasi bersih yang melayani. Naili Trisal berulang kali menegaskan komitmen membangun birokrasi yang bersih, cepat mengambil keputusan, responsif terhadap keluhan masyarakat, serta kreatif dalam inovasi pelayanan publik. Program 100 hari pertama difokuskan pada sistem pelayanan yang mudah dan transparan, disertai penolakan tegas terhadap pungutan liar maupun konflik kepentingan. Namun, pada Oktober 2025, KPK melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 menempatkan Palopo dalam zona merah kerentanan korupsi, bersama 18 daerah lain di Sulsel termasuk Makassar dan Parepare. Peringatan ini menjadi tantangan besar bagi upaya membangun tata kelola bersih.

Gaya kepemimpinan Naili yang tegas tercermin dalam beragam surat edaran dan instruksi yang dikeluarkan sepanjang masa jabatan awal. Di antaranya, Surat Edaran kewajiban persetujuan langsung wali kota untuk setiap Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), SPPD serta instruksi penertiban laporan tenaga honorer fiktif. Kebijakan-kebijakan ini, meski bertujuan mencegah pemborosan dan memperkuat disiplin fiskal, sering memicu perdebatan: di satu sisi dipuji sebagai langkah pengetatan anggaran, di sisi lain dikritik karena dianggap memperlambat birokrasi dan kurang fleksibel. 

Rencana merger Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dari 39 menjadi 25 pada 2026, disertai sentralisasi pencairan dana, bertujuan menciptakan tata kelola efisien, akuntabel, dan transparan. Langkah ini, meski memicu dinamika internal seperti kekhawatiran hilangnya jabatan, selaras dengan sumpah jabatan untuk kepatuhan regulasi dan visi birokrasi "clean, clear, transparan, akuntabel, dan profesional".

Sorotan khusus tertuju pada RSUD Sawerigading sebagai rumah sakit rujukan utama di Tana Luwu. Awal masa jabatan ditandai inspeksi mendadak Naili-Ome pada Agustus 2025 untuk menindaklanjuti aduan pelayanan, yang menunjukkan komitmen langsung terhadap perbaikan. Namun, menjelang akhir tahun, kasus dugaan kelalaian penanganan pasien yang meninggal dunia pada 1 Desember 2025 menjadi sorotan publik. 

Kronologi yang beredar luas memicu tudingan malpraktik, meski manajemen rumah sakit membantah dan menyatakan penanganan sesuai prosedur serta melakukan evaluasi internal. Kasus ini, disertai penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan sebelumnya oleh Kejari Palopo, menambah tekanan pada upaya peningkatan kualitas layanan kesehatan di bawah visi Palopo Baru. Sorotan pada Badan Usaha Milik Daerah seperti PAM Tirta Mangkaluku, dengan isu distribusi air dan dugaan penyimpangan, menuntut perbaikan nyata di luar sekadar rebranding.

Hingga akhir 2025, sentimen publik terhadap pemerintahan Naili-Ome berada pada fase "wait and see". Apresiasi atas langkah taktis cukup tinggi, tapi kritik terhadap gaya komunikasi dan penanganan isu, menunjukkan perlunya sensitivitas lebih besar terhadap kearifan lokal.

Salah satu isu krusial yang mencuat belakangan adalah tunggakan insentif bagi ketua RT/RW dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK). Sepanjang Desember 2025, ratusan pengurus tingkat kelurahan menggelar demonstrasi berulang di kantor wali kota, gedung DPRD, bahkan berencana mendatangi rumah jabatan wali kota. Mereka menuntut pembayaran insentif yang macet hingga 10 bulan, warisan dari periode sebelumnya, meski telah dianggarkan dalam APBD Perubahan. 

Aksi ini mencerminkan frustrasi di tingkat akar rumput, di mana RT/RW sebagai garda terdepan pelayanan masyarakat merasa diabaikan. Penolakan wali kota untuk menemui demonstran dalam beberapa kesempatan turut memanaskan situasi, meskipun pemerintah berdalih pada keterbatasan fiskal dan kepatuhan regulasi.

Pemerintahan daerah yang efektif memerlukan keseimbangan antara ambisi transformasi dan realitas fiskal-politik. Naili-Ome memiliki fondasi kuat untuk membawa Palopo menuju kemajuan inklusif, asal mampu menavigasi turbulensi dengan kolaborasi lintas sektor termasuk dialog terbuka dengan elemen masyarakat seperti RT/RW serta konsistensi dalam mewujudkan janji inovasi birokrasi dan transparansi. 

Masyarakat Palopo, pada gilirannya, perlu memberikan dukungan kritis sambil terus mengawasi. Harapan "Palopo Baru" bukan sekadar visi, melainkan komitmen bersama untuk kota yang lebih sejahtera dan berdaya saing demi mewujudkan kota yang lebih baik bagi generasi mendatang. (****)

Posting Komentar untuk "OPINI! Warisan Utang dan Mimpi Palopo Baru Lima Bulan Naili-Ome: Apresiasi dan Kritik Publik"