Bayangkan sebuah tempat yang dulu dipenuhi aroma alkohol dan suara kegaduhan judi sabung ayam, kini berubah menjadi ruang riang penuh tawa anak-anak yang bergelut dengan buku cerita. Itulah keajaiban yang diciptakan Aiptu Jacky Jenifer Galelar, seorang polisi sederhana di Palopo, Sulawesi Selatan. Di tengah lingkungan yang sering disebut 'keras' olehnya sendiri, di mana warung miras dan arena taruhan merajalela, ia membangun Rumah Belajar Victory, oase literasi yang lahir dari keringat pandemi COVID-19. Selain rumah belajar ia, juga aktif membantu Taman Pendidikan Al-Qur'an di Kelurahan Luminda. Seperti, membagikan buku iqro dan papan reklame TPA. Bagi saya, kisah ini bukan sekadar berita inspiratif; ia adalah pengingat tajam bahwa perubahan sosial tak selalu butuh kekerasan atau anggaran besar, tapi cukup dengan satu hati yang tulus dan setumpuk buku.
Apa yang membuat inisiatif Aiptu Jacky begitu memesona? Pertama, keberaniannya memilih lokasi awal tepat di bekas warung ballo minuman keras tradisional yang menjadi sarang dosa. "Supaya peminum-peminum itu bisa lihat: oh, ini ada anak-anak," katanya. Langkah simbolis ini seperti tamparan lembut tapi tegas bagi warga yang terbiasa dengan rutinitas gelap. Hasilnya? Aktivitas judi dan miras mulai surut, digantikan rasa malu yang pelan-pelan membangun kesadaran. Saya yakin, ini bukti nyata bahwa pendidikan bukan hanya soal mengajar huruf dan angka, tapi juga menanam benih empati. Anak-anak yang dulu bebas berkeliaran tanpa arah, kini belajar membaca, menulis, dan membangun karakter, sekitar 30 jiwa yang menjadi benteng hidup melawan godaan lingkungan. Di sini, buku tak lagi sekadar alat bacaan; ia menjadi 'alat bukti' konkret bahwa ilmu bisa mengalahkan godaan dosa, mengubah data hitam judi menjadi cerita sukses literasi.
Lebih dari itu, nama 'Victory' yang dipilih Aiptu Jacky bukan gimmick semata. Ia mewakili perjuangan anak-anak Luminda untuk 'menang' atas lingkungan mereka sendiri. Bayangkan: anak SD yang tadinya buta huruf, kini lancar membaca dongeng. Warga yang dulu sibuk dengan dadu dan gelas, kini tersenyum melihat kegiatan belajar. Semua ini didanai dari kantong pribadi Jacky dan istrinya, meski kini didukung polres setempat. Di usulan Hoegeng Corner 2025 oleh Polda Sulsel, kisahnya menggemakan semangat Jenderal Hoegeng: polisi sejati adalah pelayan, bukan penguasa. Saya percaya, inisiatif seperti ini adalah obat mujarab bagi penyakit masyarakat modern, judi online yang kian merajalela, miras yang merusak generasi muda. Bukannya menutup warung dengan paksa, Jacky membuka pintu ilmu dengan tangan terbuka, membuktikan bahwa literasi adalah senjata paling ampuh untuk membersihkan jiwa.
Namun, di balik sorotan cerah ini, kisah Aiptu Jacky juga menjadi cermin bagi citra Polri yang sering tercoreng oleh ulah oknum. Berita tentang penyalahgunaan wewenang, korupsi, atau kekerasan berlebih dari segelintir anggota sering mendominasi headline, membuat masyarakat ragu dan kehilangan kepercayaan. Itu nyata, dan kita tak boleh menyangkalnya, ulah oknum seperti itu adalah noda hitam yang merusak fondasi institusi, sering kali berakar dari 'busuk di kepala' yang tak segera dibersihkan di tingkat pimpinan. Tak heran jika desakan untuk ganti Kapolri kian menggema, sebagai panggilan darurat agar reformasi tak lagi jadi jargon kosong. Tapi, justru karena itu, kisah Jacky menjadi seruan reformasi yang mendesak: Polri harus lebih tegas membersihkan internalnya, mempromosikan polisi-pengabdi seperti Jacky sebagai teladan utama. Ingat, polisi adalah saudara kandung sipil, lahir dari rahim reformasi 1998 yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Masih banyak polisi baik di luar sana, ribuan anggota yang diam-diam melayani dengan tulus, dari bhabinkamtibmas di pelosok hingga petugas lalu lintas yang ramah. Mereka seperti Jacky, yang memilih buku sebagai senjata daripada tongkat, membuktikan bahwa reformasi sejati dimulai dari hati setiap individu.
Kisah Aiptu Jacky Jenifer Galelar mengajak kita bertanya: berapa banyak 'warung miras' di sekitar kita yang bisa berubah menjadi 'rumah victory' jika ada satu orang seperti dia? Di era di mana berita negatif mendominasi, cerita ini seperti sinar pagi yang menyegarkan. Mari kita tiru semangatnya, mulai dari lingkungan terdekat, dengan buku sebagai sahabat, bukan gadget sebagai pengganggu. Dan bagi Polri, ini panggilan untuk reformasi: angkat para Jacky sebagai wajah baru, tegas hukum oknum, dan kembalikan kepercayaan rakyat. Karena pada akhirnya, kemenangan sejati bukan milik pemenang judi, tapi anak-anak yang belajar untuk bermimpi besar, dan polisi yang melindungi mimpi itu dengan integritas. Jacky telah menang; sekarang giliran kita semua. (MUBARAK DJABAL TIRA)
Tidak ada komentar: